REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- UU Perampasan Aset kembali mengemuka usai Menkopolhukam, Mahfud MD, meminta DPR RI untuk mendukung kehadiran UU tersebut. Sayangnya, permintaan itu ditolak Ketua Komisi III, Bambang Pacul, jika bukan perintah ketua umum partai.
Apa itu UU Perampasan Aset? Pakar Hukum Universitas Trisakti, Prof Abdul Fickar Hadjar mengatakan, secara terminologi perampasan aset itu dimaksudkan untuk aset-aset hasil kejahatan. Sebab, ada upaya-upaya paksa yaitu perampasan.
Selama ini, aset yang disita dan dirampas oleh penegak hukum pada akhirnya harus melalui putusan pengadilan. Jadi, aset itu berpindah tangan kalau ada lembaga, peristiwa hukum atau putusan pengadilan, baru bisa disita atau bisa dilelang.
Artinya, kita menciptakan sistem baru atau lembaga baru dalam penegakan hukum, Sebab, pada dasarnya dalam penegakan hukum perdata sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan untuk menyita, melelang dan memberikan hasilnya kepada yang berhak.
Sedangkan, untuk pidana dilakukan penegak hukum seperti Kejaksaan, KPK, Polri yang bisa merampas aset tersangka atau terdakwa. Tapi, ketika akan dipindah tangankan, seperti perdata, semua tetap harus melalui putusan pengadilan.
"Dengan kita mengusulkan adanya UU Perampasan Aset, apakah juga undang-undang ini akan melegalkan, umpamanya begitu aset dirampas oleh negara, kemudian ada prosesnya lagi langsung menjadi milik negara tanpa harus ada proses peradilan," kata Fickar saat mengisi diskusi Forum Legislasi di Media Center DPR RI.
Melalui UU Perampasan Aset, satu sisi dijaga kepentingan hak-hak masyarakat, di sisi lain kita turut memberikan kewenangan kepada negara untuk merampas aset masyarakat. Tapi, ia merasa, jika aset itu hasil tindak pidana tidak masalah.
Selama ini, Kejaksaan memiliki kewenangan walau kurang aktif karena cuma menyita aset-aset yang memang perkara korupsi atau pidana. Ketika ada perkara Kejaksaan bisa menyita, tapi yang menentukan bisa dirampas atau tidak tetap pengadilan.
"Saya kira ide mengenai UU Perampasan Aset saya kira bisa mengawinkan kewenangan-kewenangan itu," ujar Fickar.
Nantinya, bunyi UU Perampasan Aset sama dengan putusan pengadilan. Jadi, tinggal mengeksekusi walau tetap harus ada proses. Tapi, perlu keseimbangan perlindungan kepada aset masyarakat dan keleluasaan negara merampas aset hasil tindak pidana.
Dalam perkara perdata, ada lembaga yang namanya parate eksekusi. Itu merupakan perjanjian yang tidak harus memakai proses peradilan, perjanjian yang dibuat di notaris yang bisa langsung eksekusi, tidak harus ada proses pengadilan panjang.
Tapi, dalam perkara pidana mungkin nantinya ada satu lembaga yang memberikan di satu sisi kewenangan kepada negara untuk merampas aset masyarakat. Dengan syarat itu memang hasil tindak pidana, tanpa proses peradilan dan menjadi hak negara.
"Itu yang yang saya kira problemnya di situ karena kalau harus pakai putusan pengadilan sampai sekarang ada namanya sita, menyita kemudian melelang, itukan merampas juga sebenarnya, tapi tetap harus ada dasar putusan pengadilannya," kata Fickar.
Kini, ia menyarankan, segera dipikirkan untuk menciptakan satu lembaga yang bisa merampas aset tanpa harus ada keputusan pengadilan. Tapi, Fickar menekankan, itu harus kuat pula secara hukum, memiliki dasar sosiologis, memiliki dasar yuridis.
Kalaupun ada lembaga baru harus pula diperhatikan hak-hak orang yang dirampas. Misal, memberi definisi jelas terhadap status aset yang dirampas seperti kredit mobil, yang mana perampasan aset itu sebenarnya sudah dilakukan debt collector.
Selama ini, DC mengambil mobil atau motor kredit tanpa putusan pengadilan. Tapi, tidak ada lembaga yang melegalkan karena bisa pula melawan hukum. Sebab, untuk kepemilikan kendaraan itu sebenarnya sudah pindah ke debitur, walau belum lunas.
Terobosan mungkin akan dimunculkan oleh UU Perampasan Aset ini tanpa ada proses pengadilan terhadap aset-aset tertentu yang nanti dikualifikasi secara teknis. Jadi, bisa dirampas negara atau lembaga yang memberikan kredit dan sebagainya.
Ia merasa, UU Perampasan Aset ini pikiran baru untuk mempercepat roda putaran ekonomi agar keduanya terlindungi. Masyarakat di satu sisi terlindungi dalam berusaha, di sisi lain negara bisa mempertahankan kehidupan kelembagaannya.
"Ada keseimbangan antara hak masyarakat dengan hak negara dan Undang-Undang Perampasan Aset hendaknya mengakomodir dua kepentingan itu," ujar Fickar.