Sabtu 01 Apr 2023 17:01 WIB

Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu tak Ramah Korban Perempuan

Aspek gender dan pengalaman perempuan sangat kuat pada kasus pelanggaran HAM.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erik Purnama Putra
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani (tengah) memberikan keterangan pers di Jakarta, Senin (8/8/2022).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani (tengah) memberikan keterangan pers di Jakarta, Senin (8/8/2022).

REPUBLIKA.CO.ID,

Pelanggaran HAM berat tak mengenal gender. Laki-laki dan perempuan korban bisa menjadi korbannya. Namun, upaya korban perempuan dalam mengakses keadilan atas pelanggaran HAM berat dinilai menemui jalan lebih berliku ketimbang korban laki-laki.

Atas dasar itu, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengingatkan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu perlu mengintegrasikan perspektif korban yang berkeadilan gender. Hal ini menyangkut perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasannya, baik dalam bentuk penyelesaian yudisial maupun nonyudisial.  

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani merespons Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (tim PPHAM). Keppres tersebut merupakan tindak lanjut kebijakan pascainstruksi Presiden Jokowi pada Rabu (11/1/2023).

Langkah itu sebagai salah satu upaya negara memenuhi hak-hak korban atau keluarganya yang terdampak pelanggaran HAM berat masa lalu. Dia menyebut, Komnas Perempuan menggarisbawahi upaya penyelesaian nonyudisial merupakan langkah yang tidak menggantikan upaya yudisial.

"Dan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan korban atas layanan dasar seperti administrasi kependudukan, layanan kesehatan, dan layanan kesejahteraan sosial," kata Andy di Jakarta pada Jumat (31/3/2023).

Komnas Perempuan menyoroti tiga upaya integrasi perspektif korban berkeadilan gender. Pertama, jaminan perlindungan bagi korban yang memahami kebutuhan spesifik perempuan perlu sudah dibangun sejak proses pendataan dilakukan. Andy mendorong upaya pendataan mesti mempertimbangkan rasa aman bagi korban, termasuk kekhawatiran persekusi yang berangkat dari pengalaman di masa lalu.

"Trauma pada peristiwa kekerasan dan stigma yang ditanggung dalam peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, terutama terkait kekerasan seksual menjadikan perempuan perlu berpikir berulangkali untuk mengajukan diri atau tidak di hadapan publik sebagai korban," ujar Andy.

Komnas Perempuan memang sempat didatangi beberapa perempuan korban untuk menanyakan apakah aman atau tidak jika mereka mencatatkan diri. "Keputusan mereka juga sangat dipengaruhi oleh sikap anggota keluarga yang lain, serta pertimbangan dampak yang akan ditanggung oleh keluarganya," ujar Andy.

Kedua, Komnas Perempuan menyoroti keterlibatan perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program kerja tim PPHAM. Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini pun menyayangkan komposisi tim yang minim perempuan dan tidak memasukkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam jajaran koordinasi.

"Padahal aspek gender dan pengalaman perempuan dan anak sangat kuat pada kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Mereka kerap menjadi korban kekerasan berbasis gender termasuk seksual. Kekerasan seksual merupakan metode penundukan lawan yang seringkali digunakan dalam konflik," ucap Theresia.

Ketiga, Komnas Perempuan ingin menguatkan kepemimpinan perempuan korban pelanggaran HAM Berat masa lalu. Hal ini itu dilakukan dengan memastikan keterlibatan substantif komunitas korban dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pengawasan program. "Juga dengan mendukung inisiatif-inisiatif yang telah dikembangkan secara mandiri selama ini," ucap Theresia.

Sementara itu, Andy mencontohkan, komunitas perempuan korban Tragedi Mei 1998 menjadi penggagas memorialisasi di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Di lokasi itu, terdapat sekitar 113 makam dari korban yang tidak dapat diidentifikasikan. Serupa dengan upaya ini adalah desakan komunitas korban untuk mendirikan memorialisasi Rumah Geudong di Pidie, Provinsi Aceh.   

"Memorialisasi tersebut merupakan bagian dari upaya rekonsiliasi sekaligus pernyataan komitmen bersama untuk mencegah keberulangan tragedi tersebut," ucap Andy.

Sebelumnya, Presiden Jokowi mengakui adanya 12 kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanah Air. Kasus pelanggaran HAM berat tersebut, yakni peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari Lampung 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh 1989, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa kerusuhan Mei 1998, dan peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999.

Kemudian, ada pula peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, peristiwa Wasior Papua 2001-2002, peristiwa Wamena Papua 2003, dan peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003. Pada pertengahan Maret, Jokowi menandatangani Keppres Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau PPHAM, yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.

Ada dua tugas utama dari Tim Pemantau PPHAM. Pertama, memantau, mengevaluasi, dan mengendalikan pelaksanaan rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang berat Masa lalu oleh menteri/pimpinan lembaga. Kedua, melaporkan kepada Presiden minimal enam bulan sekali dalam setahun atau sewaktu-waktu bila diperlukan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement