REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengakui korupsi dapat menimbulkan dampak berbeda terhadap masyarakat. Hanya saja, Bintang mengungkap perempuan semakin memprihatinkan kondisinya akibat praktik korupsi yang menghambat pemenuhan hak dasar mereka.
"Korupsi seolah menempatkan perempuan yang sudah rentan ke dalam situasi yang lebih rentan lagi. Hal ini tentunya perlu menjadi perhatian kita bersama," kata Bintang dalam keterangannya yang dikutip pada Ahad (2/4/2023).
Bintang mengatakan pencegahan dan penanganan korupsi perlu dilakukan kolaboratif lintas sektor dari level keluarga dan masyarakat. Contohnya seorang istri dapat memberi pengaruh positif kepada pasangan untuk menjauhi perilaku korupsi. Apalagi dalam tataran keluarga, istri sering dijadikan rasionalisasi perbuatan korupsi.
"Perempuan sering dianggap sebagai pihak yang menyebabkan laki-laki melakukan korupsi atau tuntutan (ketamakan) istri adalah alasan suami melakukan korupsi," ujar Bintang.
Sehingga Bintang mendorong terwujudnya tata kelola pemerintahan yang akuntabel, bersih dan bebas korupsi. Hal ini akan membuat perempuan pada hidup yang lebih berkualitas, berkeadilan gender, dan inklusif.
"Ini untuk meminimalisir meluasnya tindak kejahatan terhadap perempuan yang disebabkan oleh praktik-praktik korupsi secara langsung maupun tidak langsung," ujar Bintang.
Di sisi lain, Direktur Saya Perempuan Anti Korupsi Indonesia (SPAK), Maria Kresentia mengatakan korupsi berdampak pada relasi gender. Ia menyebut korupsi yang terjadi di layanan publik memberikan dampak luar biasa pada perempuan.
"Dan ini kemudian memudahkan terjadinya tindak kejahatan dimana perempuan dan anak menjadi korban, seperti perkawinan anak, perdagangan orang," ujar Maria.
SPAK sempat melakukan polling sederhana melalui media sosial untuk mengetahui apakah masyarakat mengenal adanya korupsi dalam beberapa tindak kejahatan terhadap perempuan. Dari sekitar 100 jawaban yang masuk, 80 persen mengatakan memang ada korupsi dalam tindak perkawinan anak dan perdagangan orang. Adapun 20 persen sisanya mengatakan tidak ada hubungan sama sekali.
"Hasil ini menunjukkan masih perlu adanya diskusi, edukasi, dan sosialisasi tentang berbagai bentuk korupsi yang menjadikan perempuan dan anak sebagai korban," ujar Maria.