MAGENTA -- Hampir dua bulan Kapten Philips Mark Marthens yang disandera oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua belum juga dibebaskan. Pilot Susi Air itu disandera KKB Papua pada 7 Februari 2023 usai peristiwa pembakaran pesawat di Lapangan Terbang Paro, Nduga, Papua.
Meski TNI telah mengetahui lokasi KKB yang menyandera pilot asal Selandia Baru itu, TNI-Polri masih mengedepankan negosiasi terhadap KKB untuk melakukan penyelamatan sandera. Sebab, operasi yang dilakukan bukan merupakan operasi militer.
"Kita bisa saja, TNI kita punya pasukan khusus, baik darat laut maupun udara, kita bisa langsung eksekusi Egianus Kogoya dan kelompoknya. Tapi tentu itu berisiko terhadap sandera," kata Kapuspen TNI Laksamana Muda TNI Kisdiyanto kepada wartawan, Rabu (15/3/2023).
Kasus penyanderaan seperti ini juga pernah terjadi pada 27 tahun lalu, bedanya soal jumlah sanderanya saja. Penyanderaan yang dipimpin Ketua KKB Papua Egianus Kogoya pada awal Februari lalu menyandera satu orang pilot. Sementara, pada penyanderaan 8 Januari 1996 oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) kelompok Kelly Kwalik menyandera 26 orang.
Mereka yang disandera adalah 10 anggota Tim Ekspedisi Lorentz 1995, tiga orang periset WWF dan UNESCO, serta 13 penduduk desa. Tujuan penelitian tim Lorentz 1995 secara umum adalah memberikan informasi dasar mengenai keberadaan jenis flora dan fauna di sekitar Mapenduma. Tim Ekspedisi itu sendiri sudah berada di Mapenduma, sekitar 160 Km di barat daya Wamena, sejak 18 November 1995.
Mereka diculik oleh ratusan anggota OPM saat sedang mengumpulkan data di Mapenduma. Selama penyanderaan, para sandera digiring berjalan dan blusukan ke hutan belantara Papua selama 130 hari tanpa mendapatkan asupan makanan yang cukup, sehingga beberapa orang jatuh sakit.
Karena tujuh orang sandera adalah warga negara asing: empat orang asal Inggris, dua orang asal Belanda, dan satu orang asal Jerman, membuat peristiwa penyanderaan jadi sorotan luas dunia internasional. Masyarakat di tanah air juga terus menantikan perkembangan penyelamatan korban setiap hari.
Baca juga: Asal-usul Nama Betawi: Dari Pelesetan Batavia Hingga Kotoran Manusia
Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma
Brigjen Prabowo Subianto, yang saat itu baru menjabat Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) ditunjuk menjadi komandan operasi pembebasan sandera. Tim Kopassus yang dikerahkan berasal dari Grup 5 Antiteror yang berseragam hitam-hitam.
Kala itu, ada pasukan Kopassus dibantu Kostrad Yon 330, 328, dan 327 (Jawa Barat), Batalyon 514 (Brawijaya), Batalyon 742 (Trikora), Penerbad dan TNI AU. Total pasukan yang dikerahkan mencapai 600 orang.
“Kesulitan yang paling besar waktu Mapenduma adalah alam. Jadi lingkungannya sangat sulit. Hutannya sangat sulit. Pohonnya sangat tinggi. Lebat. Komunikasi tidak ada. Dan kita tidak punya peta daerah itu. Biasanya kalau tentara itu pakai peta topografi 1:50.000. Bahkan ada negara-negara maju bisa 1:25.000. Kadang 1:10.000. Jadi lebih detail, lebih akurat. Kita pakai peta 1:1.000.000, ha ha ha,” kata Prabowo kepada Najwa Shihab dalam "Program Mata Najwa" di Metro TV Rabu, 27 April 2011 pukul 22.05 WIB.
Dalam operasinya, Prabowo mempersilakan tim dari International Committee of the Red Cross (ICRC atau Palang Merah Internasional) melakukan perundingan. Hal itu dilakukan sesuai dengan permintaan dunia internasional.
Pada 7 Februari 1996, ICRC mengirimkan tim untuk membebaskan sandera. ICRC meminta pembebasan sandera dengan damai dilakukan pada 25 Februari 1996.
Namun, permintaan itu ditolak. Alasannya, pembebasan tak dapat dilakukan tanpa izin dari pimpinan OPM di Papua Nugini.
Esoknya, sebuah informasi menyebut para sandera ditempatkan di dalam sebuah gua dijuluki gua kelelawar. Menurut informasi, gua kelelawar berada di ketinggian tujuh meter dan hanya bisa dijangkau lewat titian anak tangga.
Baca juga: Kesederhanaan Bung Hatta: Ironi Sepatu Bally tak Terbeli dan Tas Branded Istri Pejabat
Pada 29 Februari 1996, ICRC berhasil menemui para sandera di sebuah gubuk di Desa Geselama. Hasil perundingan, OPM ingin membebaskan beberapa sandera yang sakit, termasuk Martha Klein yang sedang hamil. Tiba-tiba mereka berubah pikiran tidak mau membebaskan sandera.
Melihat situasi semakin rumit, Brigjen Prabowo langsung menggerakkan pasukan seperti mengintai lewat udara yang dilakukan terus-menerus. Bahkan, sebuah pesawat tanpa awak yang bisa mendeteksi panas tubuh juga turut dikerahkan.
Hasilnya, pada 15 Mei 1996, kelompok OPM yang terdesak terus bergerak masuk ke dalam hutan. Karena panik, OPM membunuh dua anggota Tim Lorentz, yakni Navy dan Matheis. Keduanya dibantai dengan kapak.
Terdesaknya kelompok OPM dimanfaatkan para sandera untuk berlari menyelamatkan diri. Jika tidak, akan ada lagi sandera yang terbunuh karena OPM berencana membunuh seluruh sandera dari Indonesia dan hanya menyandera warga negara asing. Dalam keadaan putus asa, para sandera bertemu pasukan Linud 330 Kostrad yang telah mencoba mengikuti mereka berhari-hari.
Jejak para sandera ditemukan karena pasukan pimpinan Kapten Agus Rochim menemukan permen dan pembalut wanita yang tercecer di hutan. Dua benda tersebut menambah keyakinan mereka tak jauh lagi dari sandera.
"Kami TNI Batalyon 330!" teriak salah satu anggota pasukan saat bertemu para sandera. Setelah itu tidak ada ketegangan lagi. Para sandera telah diselamatkan oleh pasukan elite baret hijau.
Baca juga: Bacaan Doa Qunut Arab, Latin, dan Terjemahan
"Kami masih dalam keadaan tegang. Baik mantan sandera maupun Batalyon 330 tetap bersiaga menghadapi kemungkinan dari GPK-OPM yang bernafsu merebut sandera," kata Adinda Arimbi Saraswati, salah seorang sandera mengisahkan ketegangan malam itu di buku 130 Hari Terperangkap di Mapenduma yang diterbitkan Sinar Harapan pada 1997.
Kapten Agus memutuskan tidak melakukan pengejaran atau melakukan pencarian pada dua sandera yang dibunuh karena pasukan OPM tak diketahui. Mereka juga pasti akan berusaha keras merebut sandera yang kini berada di tangan TNI.
Untuk mengamankan sandera, kapten Agus memerintahkan pasukannya membuat parameter dan melindungi para sandera yang selamat. Pasukan Yon 330 berkali-kali menembakkan senjata untuk mencegah OPM mendekat.
Pada pagi hari, pasukan tambahan tim Kopassus datang. Mereka bertugas mengamankan lokasi dan mengevakuasi jenazah Navy dan Matheis. Seluruh sandera pun dievakuasi dengan helikopter.
Setelah 130 hari disandera, para peneliti bisa dibebaskan pada 16 Mei 1996. Mereka bisa pulang ke rumah dengan selamat. Pasukan TNI mendapat pujian dari dari dunia internasional atas prestasi mereka.
Baca juga: On This Day: 26 Maret 1968, Soeharto Terima Mandat Jadi Presiden Gantikan Sukarno
Serka Bayani Berperan Besar dalam Pembebasan Sandera
Kesuksesan Brigjen Prabowo dan pasukannya membebaskan sandera di Mapenduma karena ada peran putra asli Papua yang bernama Serka Bayani. Ia merupakan anggota satuan elite Kopassus yang dalam misi tersebut menjadi pemimpin Tim Kasuari. Nama Serka Bayani disebut Prabowo dalam buku biografinya berjudul Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto.
”Dia terkenal di Kopassus. Orangnya tenang, berani, memiliki kemampuan luar biasa dalam menembak dan memiliki kemampuan membaca jejak, dalam operasi di Papua Bayani biasanya tidak menggunakan sepatu. Dia juga memilih menggunakan celana pendek,” kenang Prabowo dalam bukunya.
Bayani, kata Prabowo, bisa menginfiltrasi musuh. Ini karena musuh kerap terkecoh karena Bayani dianggap bagian dari mereka. Dalam aksinya, Serka Bayani berhasil menewaskan beberapa musuh dan merebut tiga-empat pucuk senjata dalam sekali operasi.
“Secara keseluruhan, Beliau berhasil merebut lebih dari 100 puncuk senjata dari tangan musuh,” kata Prabowo.
Tidak hanya itu, Bayani juga diandalkan Prabowo untuk mencari titik lokasi keberadaan kelompok OPM Kelly Kwalik di hutan. Penjelasan Serka Bayani menjadi dasar bagi Prabowo untuk menentukan langkah selanjutnya. Operasi Mapenduma itu akhirnya berhasil membebaskan sandera.
”Inilah kecerdasan dari seorang pribumi, putra daerah. Dia lebih tahu kondisi setempat dibandingkan dengan orang asing yang datang dari jauh walaupun membawa alat yang canggih. Saya memilih percaya kepada anak buah sendiri yang punya pengalaman nyata,” kata Prabowo. (MHD)
*Dari berbagai sumber
Baca juga:
Sukarno tak Puasa Ramadhan Saat Bacakan Teks Proklamasi, Apa Sebab?
On This Day: 23 Maret 1946, Bandung Lautan Api, Menolak Tunduk pada Penjajah
Niat Puasa Ramadhan, Arab, Latin dan Terjemahan
Hanya Ada Tiga Jenderal Bintang Lima di Indonesia, Siapa Saja?
10 Makanan yang Perlu Dikonsumsi Agar Tetap Berenergi Saat Puasa