REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tak sedikit orang yang berpendapat bahwa agama Islam itu bukanlah agama yang tidak menghargai wanita. Wanita dalam Islam distigamatisasi sebagai separuh manusia, benarkah demikian?
Pandangan sinis terhadap Islam demikian dengan membawa-bawa konsep kesetaraan gender adalah kekeliruan besar.
Tudingan bahwa Islam tidak memberikan kesempatan kepada perempuan, menganggap perempuan bukan manusia seutuhnya kerap disuarakan misalnya di dalam sholat jamaah.
Dalam Islam, wanita tak boleh dijadikan imam laki-laki dan selalu ditempatkan di shaf belakang, mengapa demikian?
KH Ali Mustafa Yaqub dalam buku Imam Perempuan menjelaskan, dalam agama Islam sholat merupakan sebuah perbuatan di mana hamba Allah SWT bermunajahah atau beraudiensi dengan Khaliknya. Dalam saat-saat seperti itu diperlukan kekhusyukan.
Banyak hadits yang mengatur posisi wanita, dan apa yang harus wanita lakukan ketika sedang sholat dengan kaum laki-laki. Misalnya, tentang posisi wanita ketika sholat berjamaah dengan kaum laki-laki.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : خَيْرُ صفوف الرِّجال أوَّلُها، وشرُّها آخرُها، وخَيْرُ صفوف النِّساء آخِرُها، وشَرُّها أولها
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Shaf (barisan dalam shalat) yang terbaik bagi laki-laki adalah shaf depan, dan shaf yang terburuk bagi mereka adalah shaf terakhir. Sedangkan shaf terbaik bagi kaum wanita adalah shaf yang terakhir dan yang terburuk bagi mereka adalah shaf terdepan.”
Dijelaskan bahwa hadits ini secara kontekstual diartikan dalam konteks sholat berjamaah yang terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan.
Yang mana poisisi kaum perempuan berada di belakang kaum laki-laki, dan di antara mereka tidak ada tabir seperti yang terjadi pada masa Nabi SAW.
Shaf perempuan yang terdepan berdekatan dengan shaf laki-laki dengan shaf yang terakhir. Kedekatan ini akan mengundang munculnya gangguan-gangguan, antara lain ketidakkhusyukan dalam sholat.
Di beberapa masjid di Indonesia, kata Kiai Ali, banyak masjid yang menggunakan tabir atau tirai sebagai pemisah antara kaum laki-laki dengan perempuan.
Namun demikian meskipun kaum perempuan ada di belakang, para ulama berpendapat bahwa hal ini boleh saja dan bahkan lebih menjauhkan kaum perempuan dari gangguan-gangguan itu.
Sedangkan posisi wanita yang berada di shaf samping laki-laki, sebagian ulama berpandangan bahwa hal itu makruh.
Namun sebagian ulama lainnya berpendapat apabila antara laki-laki dengan perempuan ada tabir pemisah sehingga laki-laki tidak dapat melihat perempuan dan sebaliknya, dan tentunya hal itu tidak menimbulkan gangguan kekhusyukan di kalangan mereka. Para ulama kalangan ini menghukumi boleh.
Sebagai catatan, Kiai Ali menekankan, kekhusyukan dalam sholat menjadi prioritas, sehingga orang yang sholat dapat berkonsentrasi ketika bermunajah kepada Allah SWT. Betapa tidak?
Baca juga: Pujian Rakyat Negara Arab untuk Indonesia Terkait Piala Dunia U-20, Terhormat!
Ketika seorang imam melakukan kesalahan dalam sholat misalnya, makmum laki-laki agar meningkatkan dengan membaca tasbih (subhanallah), artinya ia bersuara.
Sedangkan makmum wanita tidak boleh bersuara. Dia cukup mengingatkan dengan bertepuk tangan saja. Nabi SAW bersabda:
التَّسْبِيحُ للرجال، والتَّصْفِيق للنساء “(Cara makmum mengingatkan imam yang melakukan kekeliruan adalah) membaca tasbih bagi kaum laki-laki, dan menepuk tangan bagi kaum perempuan.”
Suara wanita kendati tidak tergolong aurat, di dalam sholat dapat mengganggu kekhusyukan sholat bagi kaum laki-laki. Apabila posisi wanita berada di depan laki-laki dalam sholat berjamaah, maka bukan hanya suara saja yang dapat mengganggu kekhusyukan mereka, melainkan tubuh wanita itu sendiri juga dapat lebih mengganggu kekhusyukan laki-laki. Dalam sebuah hadits disebutkan:
يقطَعُ الصَّلاةَ المرأةُ والحمارُ والكلبُ الأسودُ “Wanita, keledai, dan anjing hitam dapat memutus (mengganggu kekhusyukan) sholat.” Kiai Ali menjelaskan, hadits tersebut diartikan dalam konteks sholat berjamaah dalam alam terbuka.