REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pemerintah Inggris akan melanjutkan rencana memukimkan kembali para imigran yang memasuki negaranya secara ilegal di Rwanda, sebuah negara di Afrika Timur. Kendati demikian, Inggris belum menetapkan tenggat waktu untuk proses deportasi pertama.
Dalam sebuah wawancara dengan BBC pada Ahad (2/4/2023), Menteri Dalam Negeri Inggris Suella Braverman mengatakan, dia yakin Rwanda adalah negara yang aman untuk memukimkan kembali para imigran ilegal. “Pengadilan Tinggi, hakim ahli senior, telah melihat detail pengaturan kami dengan Rwanda dan menemukan ia sebagai negara yang aman dan menemukan pengaturan kami sah menurut hukum,” ucapnya.
Braverman, yang mengunjungi telah Rwanda bulan lalu, tidak memberikan tenggat waktu untuk proses deportasi pertama para imigran ilegal. “Kami harus realistis. Kami meraih kemenangan yang sangat kuat di Pengadilan Tinggi pada akhir tahun lalu terkait Rwanda. Kami sekarang telah memperkenalkan undang-undang. Kami ingin bergerak secepat mungkin untuk merelokasi orang-orang dari Inggris ke Rwanda,” katanya kepada Sky News.
Inggris ingin mengirim ribuan migran ilegal yang telah memasuki negaranya ke Rwanda. Rencana tersebut pertama kali diumumkan pada April 2022. Namun upaya deportasi pertama diblokir oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa. Kemudian pada Desember 2022 lalu, Pengadilan Tinggi London memutuskan bahwa upaya pengiriman para migran itu legal dan tidak melanggar Konvensi Pengungsi PBB.
Kendati demikian, pada 16 Januari lalu, Pengadilan Tinggi London memutuskan bahwa beberapa kelompok yang kalah dalam kasus tersebut memiliki hak untuk mengajukan banding atas sebagian keputusannya. Hal itu artinya Inggris tidak bisa melakukan deportasi ke Rwanda saat kasus tersebut dibawa ke Pengadilan Banding.
Jumlah migran ilegal yang hendak dikirim Inggris ke Rwanda belum diketahui. Sebelumnya Pemerintah Inggris hanya menyampaikan bahwa siapa pun yang memasuki negara tersebut secara ilegal setelah 1 Januari 2022 dapat dimukimkan di Rwanda.
Rwanda mengatakan dapat memproses 1.000 pencari suaka selama masa percobaan lima tahun. Namun Rwanda memiliki kapasitas untuk menampung lebih. Sejauh ini Inggris telah membayar Pemerintah Rwanda 140 juta poundsterling untuk skema tersebut. Biaya lain termasuk penerbangan ke Rwanda, makanan, akomodasi, akses ke penerjemah dan nasihat hukum.
Sistem suaka di Inggris menelan biaya 1,5 miliar poundsterling per tahun. Hampir 7 juta poundsterling dianggarkan untuk akomodasi hotel bagi pengungsi dan pencari suaka di sana setiap harinya.
Salah satu motif Inggris ingin mendeportasi para imigran ilegal ke Rwanda adalah untuk membendung arus migran ilegal ke negara tersebut. Namun sejak Inggris mengumumkan rencana deportasi tersebut pada April 2022, jumlah migran yang berusaha memasuki negara tersebut secara ilegal tak menurun. Lebih dari 45.700 migran berusaha memasuki Inggris sepanjang tahun lalu.
Para penentang rencana deportasi itu berpendapat bahwa Rwanda bukanlah tujuan yang aman bagi pencari suaka. Menurut mereka skema Inggris pun melanggar hukum hak asasi manusia.