REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pertemuan sejumlah petinggi partai politik di Kantor PAN Jakarta Ahad (2/4/2023) memunculkan usulan untuk membentuk koalisi besar. Koalisi itu dikabarkan merupakan gabungan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR).
Tak hanya itu, koalisi ini dikabarkan akan diperkuat gerbong besar partai pemenang pemilu 2019, PDIP. Jika ini benar terjadi, maka pemilihan umum presiden 2024 kemungkinan hanya akan diikuti dua pasang calon presiden dan calon wakil presiden.
Pengamat komunikasi politik Universitas M Jamiluddin Ritonga menilai, koalisi semacam ini harus menjadi perhatian bersama. Jamiluddin menyarankan sebaiknya koalisi besar yang terdiri atas Gerindra, Golkar, PAN, PPP dan PKB ini tak perlu melibatkan PDIP. Sehingga, Pemilu 2024 tetap memiliki tiga pasang capres dan cawapres.
“Koalisi besar tersebut diharapkan tidak melibatkan PDIP. Kalau tidak ada PDIP di dalamnya, maka Pilpres 2024 diharapkan berjalan dan dimeriahkan dengan tiga pasangan capres can cawapres yang maju,” ujar Jamiluddin dalam keterangannya, Senin (3/4).
Menurut dia, jika koalisi besar ini tanpa PDIP, maka nantinya parpol besutan Megawati Soekarnoputri tersebut mau tidak mau harus mengusung capres dan cawapres sendiri. Hal ini demi mencegah keterbelahan di Pemilu 2024.
“Dengan begitu, akan ada pasangan capres dari koalisi besar, PDIP, dan Koalisi Perubahan. Pilihan ini diharapkan dapat meminimalkan keterbelahan di tengah masyarakat setelah pemilihan umum,” kata dia.
Pemerintah dan elemen bangsa akan lebih mudah menyatukan berbagai kelompok masyarakat untuk mendukung pembangunan setelah proses pemilu 2024. Serangan terhadap pemerintah lebih cepat berkurang. Konsolidasi nasional dan penguatan persatuan bangsa menjadi lebih mudah.
Plus dan minus
Jamiluddin lalu mengungkap untung rugi adanya koalisi besar di Pemilu 2024. Peluang terjadinya hanya dua pasang capres-cawapres semakin besar juga.
“Plusnya, pasangan capres yang diusung berpeluang hanya dua. Kalau hal ini terwujud, maka Pilpres 2024 cukup satu putaran. Pilpres satu putaran dapat menghemat anggaran. Hal ini pas di tengah APBN yang relatif berat,” kata dia.
Sementara ruginya jika Koalisi Besar ini terbentuk, akan terjadi dua pasangan. Rakyat tidak banyak diberi alternatif pilihan. Padahal idealnya demokrasi diharapkan memberi lebih banyak pilihan. Apalagi masyarakat Indonesia yang begitu heterogen.
Selain itu, lanjutnya, keterbelahan akan semakin menguat di tengah masyarakat. Padahal keterbelahan akibat Pilpres 2019 masih menguat.
“Minus lainnya, bila koalisi besar menang pada Pilpres 2024, maka dominasi partai pendukung pemerintah sangat kuat. Hal ini dapat memperlemah DPR dalam pengawasan, seperti yang terjadi saat ini. DPR praktis sangat lemah dihadapan pemerintah,” tutur dia.
Sebaliknya, bila Koalisi Perubahan yang menang, DPR berpeluang sangat kuat. Sebab, Koalisi besar akan mendominasi DPR, yang akan terus mengganggu pemerintah.
“Pemerintah akan terus jadi bulan-bulanan, sehingga sulit bekerja maksimal karena minimnya dukungan dari DPR,” tutur dia.