Oleh : Ratna Yunita Setiyani S, S.Psi., M.Psi., Psikolog*
REPUBLIKA.CO.ID, Bulan Ramadhan sangat dinantikan oleh umat Islam sedunia, karena banyak keutamaan yang ditawarkan oleh Allah diberikan pada bulan ini. Rasullullah SAW bersabda, "Puasa itu bukanlah sekedar menahan diri dari makan dan minum, akan tetapi sesungguhnya puasa itu adalah mencegah diri dari segala perbuatan sia-sia serta menjauhi perbuatan-perbuatan yang kotor dan keji." (Hadits Riwayat Bukhari).
Berpuasa sejatinya bukan hanya menahan diri dari lapar dan dahaga saja, namun juga menahan diri dari perbuatan munkar. Perjuangan berat bukan terletak dari bagaimana kita mampu menahan diri dari makan dan minum saja, namun bagaimana kita dapat mengendalikan diri kita dari nafsu kita. Di sinilah letak perjuangan berat kita untuk menggapai berkah Ramadhan.
Keberagaman adalah bagian dari kondisi sosial yang tak dapat kita tolak. Keberagaman mengajarkan kita pada nilai-nilai insani untuk dapat saling menerima kondisi dan mengendalikan diri kita dengan menahan diri kita melalui self control yang kita bangun dalam memperlakukan orang lain di sekitar kita. Keberagaman adalah bagian penting di mana hak asasi kita dibatasi oleh hak asasi orang lain, sehingga kita dimampukan oleh kondisi sosial untuk dapat mengendalikan diri kita dari nafsu, keinginan, ego, dan berbagai kepentingan diri.
Adalah seorang ahli, Ralph Ellison, seorang penulis novel 'Invisible Man' yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1952. Novel itu bukan hanya berisi petualangan fiksi-sains belaka. Novel itu berisi tentang kisah seorang pemuda Negro yang menceritakan peristiwa-peristiwa sekitar pengalaman-pengalamannya ketika dikucilkan.
Dalam novel tersebut disebutkan oleh Ralph bahwa “Saya tidak terlihat, karena orang-orang menghindar melihat saya." Tokoh Ellison ini terus menjelaskan bahwa 'ketidakterlihatan' ini tercipta ketika orang kehilangan sifat-sifat manusiawinya, akibat orang lain memandangnya dengan persepsi yang didominasi oleh prasangka, kebiasaan, dan asumsi-asumsi yang salah.
Ini merupakan contoh dari kasus dengan keterbatasan budaya dan sosial, yang di-'beda'-kan karena alasan berbeda secara ras dan budaya (sosial). Kata-kata dahsyat Ellison menunjukkan bahwa akibat dari perbedaan-perbedaan seringkali berupa tafsiran persepsi sosial mengenai kelompok minoritas oleh kelompok-kelompok mayoritas. Dan hasilnya definisi dan persepsi yang disusun berdasarkan perbedaan fisik dan budaya ini seringkali menjadi penyebab seseorang dipandang sebagai seseorang yang 'berbeda', tidak mampu, terbatas, hingga menimbulkan perilaku tidak adil, bias, dan perbedaan pelayanan.
Dalam film yang berjudul 'Miracle Worker', seorang Hellen Keller (yang fenomenal) dengan segala keterbatasannya (penyandang cacat ganda berupa keterbatasan tuli, bisu) justru telah mendapat prestasi gemilang dengan segala keterbatasan yang disandangnya.
Hellen Keller adalah salah satu contoh yang menakjubkan dari seorang penyandang cacat ganda yang berhasil. "Saya telah membuat keterbatasan ini sebagai alat proses belajar dan kebahagiaan sejati," demikian yang diungkapkannya dalam autobigrafinya yang berjudul 'Story of My Life'.
Ini adalah contoh seseorang dengan keterbatasan yang mendapat dukungan dari lingkungan. Berkat seorang guru yang bernama Anne Sullivan, dan Alexander Graham Bell, Hellen mampu menamatkan pendidikan sarjananya dengan hasil cumlaude.
Keterbatasan ini seringkali lebih disebabkan oleh sikap dan anggapan/persepsi dibanding kebutuhan yang objektif, yang dikarenakan oleh keadaan tertentu yang dimiliki oleh seseorang.
Di suatu tempat yang digambarkan Nora Ellen Groce dalam bukunya berjudul “Every One Here Spoke Sign Language”, Groce menggambarkan masyarakat di sebuah perkebunan Anggur Martha, sebuah pulau lepas pantai di Massachussets, tempat berdiam imigran-imigran Eropa yang sebagian besar menderita tunarungu. Disana, karena orang-orang (baik yang tunarungu maupun yang dapat mendengar) berbicara bahasa isyarat. Penduduk yang dapat mendengar mempunyai toleransi tinggi yang membuat mereka justru ikut mempergunakan bahasa isyarat sebagai bahasa sehari-hari mereka, sebagai bentuk kepedulian dan memahami keadaan sekitar mereka yang mempunyai keterbatasan.
Berbagai fenomena di atas, dengan segala keadaan individu dan lingkungannya, ikut membawa pengaruh besar kepada keadaan diri individu yang berbeda, dibandingkan dengan yang lainnya. Kasus Pennsylvania yang terjadi pada tahun 1971 menjadi titik balik dalam dunia pendidikan khusus, di mana setelah itu dikeluarkan peraturan bahwa anak-anak dengan keadaan 'berbeda/khusus'” tidak boleh ditolak pendidikannya dari kelas-kelas reguler. Istilah ini kemudian yang kita kenal sebagai “inklusi”. Inklusi sendiri mulai masuk ke ranah pendidikan di Indonesia secara kuat adalah semenjak dicanangkan Deklarasi Bandung pada tahun 2004, dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusif”. Mulailah setelah itu mulai banyak sekolah yang mengatasnamakan dirinya sebagai sekolah inklusi.
Inklusi pada hakikatnya adalah sebuah filosofi pendidikan dan sosial yang menghargai keberagaman, menghormati bahwa semua orang adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apa pun perbedaannya. Falsafah inklusi memandang masyarakat sebagai individu yang sederajat tanpa ada perbedaan. Manusia ini diciptakan untuk satu masyarakat, di mana dalam sebuah masyarakat kita menjumpai adanya keberagaman. Keberagaman di antara manusia adalah normal adanya, dan berbagai kategori individu dengan hambatan atau kelainan fisik, mental-intelektual, sosial, emosional, dan lain sebagainya hendaknya dipandang sebagai hal yang biasa.
Dalam konteks pendidikan filosofi inklusi itu berarti bahwa setiap anak dengan kemampuan dan ketidakmampuan mereka, latar belakang sosial ekonomi, suku, budaya, bahasa, agama, atau gender hendaknya dapat menyatu dalam komunitas sekolah yang sama.
Penting memberi pehamaman kepada para orang tua, yaitu mengondisikan para orang tua. Misalnya dengan memberikan pengertian bahwa Anak Berkebutuhan Khusus tidak menular, dan tidak menghambat perkembangan anak yang normal, sehingga orang tua tidak perlu ragu membiarkan anaknya bergaul dengan temannya yang berkebutuhan khusus.
Sebaliknya, bagi anak-anak berkebutuhan khusus, mereka mungkin belum bisa menerima materi seperti anak lain. Tetapi mengikuti PAUD kiranya bisa menjadi ajang sosialisasi dengan teman sebayanya, yang diharapkan mampu membuat mereka tidak merasa sendiri, merasa lebih dihargai, dan mengenal dunia secara lebih luas yang membuat hidup mereka lebih berwarna. Harapannya semoga akan semakin banyak PAUD yang mau menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus ini. Bukankah dalam kehidupan selalu ada keragaman, dan justru dengan berbaur anak-anak bisa belajar untuk membantu yang lemah, lebih berempati, dan belajar menghargai perbedaan mulai dari dasar/kecil (kanak-kanak).
Demikian halnya dengan puasa, utamanya dalam bulan Ramadhan penuh berkah ini. Puasa adalah ajang menempa diri dengan keberagaman kondisi. Segala hal yang terjadi disatukan dengan indah dalam balutan ibadah Ramadhan. Mereka yang sedang sendiri ataupun bersama, mereka yang sedang dalam kondisi apapun dapat memberikan kualitas ibadah terbaiknya demi menggapai berkah Ramadhan. Sebab manusia diciptakan dengan akal, karena itulah manusia lebih tinggi derajatnya dibandingkan makhluk Allah yang lainnya. Kemampuan mengendalikan diri tidak hanya melibatkan akal, namun juga afeksi/rasa dan perilaku/motorik kita. Pengendalian diri merupakan komponen utama bagi upaya perwujudan kehidupan jiwa yang sehat. Ramadhan berkah, sebagai bagian dari permata keberagaman dan inklusi. Insha Allah.
*Dosen Prodi Psikologi UNISA Yogyakarta