REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Setiap umat Islam yang baligh dan berakal diwajibkan menunaikan ibadah puasa selama bulan Ramadhan. Namun, dalam pelaksaan ibadah ini, umat Islam memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Para Nabi pun memiliki tingkatannya sendiri dalam berpuasa.
Dikutip dari buku “Hakikat Ibadah Menurut Ibnu ‘Arabi” karya Dr Karam Amin Abu Karam, Imam Al-Ghazali telah menjelaskan secara terperinci tentang tiga jenis puasa. Mulai dari puasanya orang awam hingga puasanya para nabi.
Pertama, puasa awam, yaitu menahan keinginan perut dan kemaluan. Kedua, puasa orang khusus, yaitu menahan seluruh anggot tubuh dari dosa, dan puasa ini adalah puasa orang-orang saleh.
Sedangkan yang ketiga adalah puasa orang khususnya khusus, yaitu puasa hati dari keinginan rendah, pemikiran duniawi, dan menahan segala sesuatu selain Allah seluruhnya. Dengan demikian, melihat adalah merenung pada selain Allah.
Tingkatan puasa khususnya khusus ini hanya dapat dicapai oleh para nabi, orang-orang yang tulus, dan orang-orang yang dekat dengan Allah SWT. Karena, mereka menerima Allah dengan tekad terdalam, tenggelam pada-Nya dan jauh dari segala sesuatu selain Allah.
“Dengan demikian, sifat shamadiyah terealisasikan pada manusia, sehingga layak untuk meningkat kepada maqamat tamkin (permanen),” jelas Karam Amin dalam buku terbitan Alifia Books ini.
Lebih lanjut, Karam Amin juga menjelaskan bahwa para sufi menentukan tiga tingkatan puasa yang menunjukkan kepada suluk dan peningkatan spiritual. Ibnu Arabi juga menyatakan hal tersebut. Pertama, yaitu puasa umum bersifat lahir, berdasarkan syariat yang kita lakukan untuk beribadah kepada Allah. Puasa ini untuk kaum awam.
Kedua, puasa jiwa. Karena jiwa merupakan cermin tubuh. Puasa ini untuk kalangan khusus, yang disebutkan oleh Suhrawardi al-Baghdadi, “Adab kaum sudi dalam berpuasa adalah menahan lahir dan batin, serta menahan anggota tubuh dari dosa.”
Ketiga, puasa hati, yang bersifat luas untuk tajalli Ilahi. Puasa tingkat ini adalah tidak mengisinya dengan selain Allah. Jika menempatkan selain Allah padanya, maka itu adalah bukanya. Hati wajib berpuasa karena memprioritaskan Rabb-nya.
Tingkatan ini dikhususkan untuk kalangan khususnya khusus. Mengutip pernyataan At-Tahanuwi, Karam Amin menyatakan bahwa tingkatan ini menunjukkan kepada perbuatan hati yang menahan dari segala keinginan rendah, segala perkara dunia dan segala sesuatu selain Allah.