Rabu 05 Apr 2023 03:31 WIB

Lebaran Sebentar Lagi, Bagaimana Hukum Jual Beli Uang Baru?

Masalah jual beli uang tidak terlepas dari ribal fadhli (riba karena kelebihan).

Rep: Ani Nursalikah/ Red: Partner
.
.

Pedagang menata uang rupiah baru di jasa penukaran uang di Jalan Panembahan Senopati, Yogyakarta, Selasa (26/4/2022). Lebaran Sebentar Lagi, Bagaimana<a href= Hukum Jual Beli Uang Baru? Foto: Republika/Wihdan Hidayat" />
Pedagang menata uang rupiah baru di jasa penukaran uang di Jalan Panembahan Senopati, Yogyakarta, Selasa (26/4/2022). Lebaran Sebentar Lagi, Bagaimana Hukum Jual Beli Uang Baru? Foto: Republika/Wihdan Hidayat

MAGENTA -- Lebaran sebentar lagi. Bagi anak-anak selain soal baju baru, Lebaran adalah memburu uang baru.

Biasanya mereka akan memburunya dengan cara berkeliling dari rumah ke rumah tempat tinggalnya, mendatangi om dan tantenya, menyalami kakek-neneknya dengan harapan mendulang lembaran-lembaran uang baru.

Lalu, bagaimana cara mendapatkan uang baru yang masih mengkilat serta berurutan nomor serinya? Ada yang langsung menukarkan di bank, dan ada juga yang menukarkan melalui jasa penukaran uang baru yang menjamur di pinggir jalan menjelang Lebaran.

Jika menukarkan di bank, uang yang ditukar tidak akan berkurang dan atau tidak ada pembayaran uang jasa. Namun, jika menukarkannya di pinggir jalan akan ada uang jasa penukaran. Ambil misal, uang receh seribuan sejumlah 100 ribu rupiah ditukar dengan uang besar 110 ribu rupiah, yang terdiri dari seratus ribuan dan sepuluh ribuan.

Bagaimana hukum kelebihan 10 ribu rupiah tersebut? Bolehkah dianggap sebagai uang jasa dari makelaran atau dijadikan laba sebagaimana lazimnya perdagangan?

Merangkum buku Fiqih Kontemporer: Kupas 111 Isu Terbaru dalam Hukum Islam yang ditulis oleh Prof. K.H. Ahmad Zahro terbitan PT Qaf Media Kreativa, masalah tukar-menukar atau jual-beli uang yang sama jenisnya ini (sesama rupiah) tidak terlepas dari pembahasan tentang ribal fadhli (riba karena kelebihan).

Menurut fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Hanabilah bahwa ribal fadhli itu hanya berlaku dalam timbangan atau takaran harta yang sejenis, bukan terhadap nilai harta.

"Jika yang dijadikan ukuran adalah nilai harta, maka kelebihan yang ada tidak termasuk ribal fadhli. Misalnya, seekor sapi yang lebih kecil ditukar dengan seekor sapi yang lebih besar (mungkin karena perbedaan jenis kelamin atau rasnya, sehingga mau ditukar), maka kelebihan dalam tukar-menukar seperti ini tidak termasuk ribal, tidak diharamkan" tulis Ahmad Zahro dalam bukunya.

Baca juga: Ngeyel, Soeharto Ogah Pakai Rompi Antipeluru Saat Kunjungi Bosnia pada 1995


Pemahaman demikian, lanjut Zahro, didasarkan sabda Rasulullah SAW: "(Diperbolehkan menjual) emas dengan emas, pada perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama sebanding, sejenis, dan ada serah terima" (HR Muslim dari Ubadah bin Shami r.a.).

Berdasar paparan di atas, maka hukum tukar-menukar atau jual-beli uang receh (biasanya masih baru) dengan uang besar dengan perbedaan nominal tertentu dapat dijelaskan sebagai berikut.

Menurut pemahaman mazhab Hanafi dan sebagian Hanbali, hal tersebut diperbolehkan, karena uang itu tidak ditimbang dan tidak ditakar. Jadi, kelebihan yang terjadi bukanlah ribal fadhi tidak diharamkan. Sebaliknya, menurut pemahaman mazhab Maliki dan Syafi'i, hal tersebut dilarang karena termasuk ribal fadhli, haram hukumnya.

Inilah kecerdasan luar biasa para fuqaha, dalil yang sama dapat memunculkan produk hukum yang berbeda karena perbedaan mereka dalam menelaah dan mengambil 'illat (penyebab) hukumnya. Dan memang dalam kaidah ushul fiqih dinyatakan: al-Hukmu adiru ma'a 'illatihi, wujudan wa 'adaman (hukum sesuatu itu terkait dengan sebabnya, baik adanya maupun tiadanya).

Sebenarnya, kalau dikembalikan pada prinsip bahwa spirit muamalah adalah al-aqdu wal mashlahah (akad dan kemaslahatan), maka sekiranya para penjaja uang receh itu menawarkan transaksi makelaran atau jual-beli, mestinya jasa makelar atau laba jual-beli itu halal. Tetapi karena sudah telanjur menjadi istilah umum bahwa transaksi itu disebut "tukar uang" dan yang ditukar sama-sama rupiah, maka jika ada kelebihan akibat pertukaran itu, persepsi sebagai ribal fadhli tak terelakkan.

"Oleh karena itu, disarankan kepada para penjaja uang receh agar menawarkan uangnya sebagai barang dagangan, dan disarankan pula kepada yang membutuhkan uang receh tersebut agar berniat membelinya, sehingga transaksi yang berlangsung antara kedua belah pihak adalah akad jual-beli, dan nilai kelebihan yang timbul dari transaksi tersebut adalah laba, bukan riba. Wallahu a'lam," kata Zahro. (MHD)

Baca juga:

Doa Sholat Tahajud Beserta Niat, Keistimewaan, dan Bacaan Istighfar

Apa Hukum Memakai Pewangi Mulut Saat Berpuasa?

Kesederhanaan Bung Hatta: Ironi Sepatu Bally tak Terbeli dan Tas Branded Istri Pejabat

Orang Betawi Sakit Obatnya Cuma Dedaunan: Resep Ramuan Tradisional, dari Borok Hingga Keremian

Bukan Hanya Allahumma Laka Shumtu, Ini 7 Pilihan Doa Berbuka Puasa

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement