REPUBLIKA.CO.ID,BHOPAL -- Saat senja turun di kota Raisen, negara bagian Madhya Pradesh, India tengah, sebuah ledakan keras terdengar dari puncak bukit. Ledakannya bergema di seluruh area, sekaligus menjadi tanda berakhirnya puasa Ramadhan di hari itu.
Selama lebih dari dua abad, umat Islam di distrik kecil tepat di jantung negara bagian itu mempercayai suara khas meriam ini hadir untuk menandai awal dan akhir puasa mereka selama bulan suci. Tradisi tersebut dimulai oleh Begum atau Ratu Bhopal, yang dulunya merupakan kerajaan dan kini menjadi bagian dari Madhya Pradesh pasca kemerdekaan.
Praktik ini cukup umum di berbagai daerah yang didominasi Muslim, di negara yang mana jamaahnya bergantung pada dentuman meriam untuk memulai atau mengakhiri puasa, tanpa adanya jam dan arloji di rumah.
Seiring berjalannya waktu, tradisi itu perlahan mulai memudar. Namun di Raisen, kota kecil yang berjarak sekitar 45 kilometer dari ibu kota negara bagian Bhopal, hal ini tetap dilestarikan.
Sepekan menjelang Ramadan, meriam sepanjang 1,2 meter yang dikelola pemerintah setempat itu diserahkan ke pengurus masjid kota. Sebuah izin atau lisensi dikeluarkan untuk menyalakannya selama sebulan penuh.
Dilansir di The National News, Rabu (5/4/2023), meriam tersebut kemudian dibersihkan, dicat dan diperbaiki sebelum dibawa ke Benteng Raisen di atas bukit, di mana ia akan ditempatkan selama Ramadhan.
“Orang-orang memiliki jam tangan dan jam, tetapi mereka bisa sibuk shalat, ibadah, atau melakukan pekerjaan rumah tangga. Meriam itu sangat membantu untuk mengingatkan mereka semua," kata imam kepala dan anggota Komite Muslim setempat, Qazi Zeeshan.
Meriam ini difungsikan untuk menggantikan model yang lebih besar pada 1956, sekaligus untuk mencegah kerusakan pada benteng bersejarah kota itu. Setiap tembakan membutuhkan sekitar 250 gram bubuk mesiu, dengan dana untuk mesiu yang dikumpulkan oleh panitia masjid.
Pembuat petasan lantas bertugas membuat bola meriam menggunakan bubuk mesiu, mercon dan bahan lainnya. Selanjutnya seorang warga bernama Sakhawat Ullah dipercayakan dengan tugas menembakkan meriam. Keluarganya telah memegang tanggung jawab ini selama tiga generasi.
Ullah menggunakan kayu untuk memasukkan bola meriam ke dalam tabung dari ujung meriam yang terbuka. Ia menyebut telah menembakkan meriam selama 25 tahun terakhir.
“Saya mendapat sinyal dari masjid dan menembakkan meriam. Bunyinya terdengar oleh masyarakat di 24 sampai 25 desa. Ada kalanya barang-barang di rumah saya jatuh karena suaranya sangat keras," ujar pria berusia 45 tahun ini.
Ia pun menyebut kebanggaannya karena hanya kota tempat ia tinggal yang masih mempertahankan tradisi ini. Banyak orang yang datang dari tempat yang jauh untuk menyaksikan tradisi tersebut.
Setiap pagi dan sore, waktu sahur dan buka puasa, Ullah harus berjalan menanjak sekitar 500 meter untuk menembakkan meriam. Meski demikian dia sama sekali tidak merasa keberatan.
“Saya merasa telah dipilih untuk melayani masyarakat di dalam dan sekitar kota. Rasanya istimewa karena sekarang sudah menjadi tradisi keluarga," lanjut dia.
Tradisi dan tanggung jawab ini dimulai dari sang kakek, lalu menurun ke sang ayah, paman dan dirinya. Ullah pun mengaku telah melatih sang putra agar keluarganya dapat melanjutkan tradisi tersebut.
Di penghujung Ramadhan, meriam tersebut diserahkan dengan selamat ke pemerintah kabupaten, untuk disimpan di kas negara.
Sumber:
https://www.thenationalnews.com/uae/ramadan/2023/04/04/raisen-india-ramadan-cannon/