REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Bagi orang yang tidak mampu lagi berpuasa di bulan Ramadhan, maka dia akan terkena kewajiban untuk membayar fidyah. Terkait ukuran dan waktu pembayaran fidyah ini juga telah ditentukan.
Dikutip dari buku Catatan Faedah dari Fikih Puasa dan Zakat Kitab Safinatun Naja oleh Muhammad Abduh Tuasikal, Para ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah sepakat bahwa fidyah dalam puasa dikenakan pada orang yang tidak mampu menunaikan qadha’ puasa secara permanen. Hal ini berlaku pada orang yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa, serta orang sakit dan sakitnya tidak kunjung sembuh. Pensyariatan fidyah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah ayat 184).
Sementara aturan ukuran fidyah itu berupa makanan pokok yang umum di masyarakat seukuran satu mud. Fidyah itu dikeluarkan untuk satu hari oleh orang yang wajib mengeluarkan. Fidyah itu diserahkan kepada satu fakir atau miskin. Satu mud tidak boleh diserahkan kepada dua orang fakir atau miskin. Namun, beberapa mud boleh diserahkan pada satu fakir atau miskin saja (Nail Ar-Raja’). Untuk satu mud berukuran sekitar tujuh ons.
Di samping itu, untuk waktu pembayaran fidyah, di antaranya:
1. Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau telah berada di usia senja. Lihat Irwa’ Al-Ghalil, 4:21-22 dengan sanad yang sahih.
2. Para ulama berbeda pendapat tentang masalah bolehkah mempercepat pembayaran fidyah ataukah tidak untuk yang sudah tua renta atau yang menderita sakit menahun yang sulit diharapkan sembuhnya. Tentang hal ini Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa sepakat ulama madzhab Syafii menyatakan tidak bolehnya mempercepat pembayaran fidyah sebelum masuk Ramadhan.
3. Adapun mempercepat pembayaran fidyah setelah terbit fajar Shubuh setiap harinya dibolehkan.
4. Mempercepat pembayaran fidyah sebelum masuk fajar Shubuh di bulan Ramadhan juga masih diperbolehkan. Pendapat ini dipilih oleh Ad-Darimi kata Imam Nawawi.
5. Tidak masalah memajukan fidyah untuk satu hari saja, tidak untuk dua hari atau lebih. Inilah pendapat madzhab Syafii. Imam Al-Khatib Asy-Syirbini mengatakan, “Tidak dibolehkan untuk wanita hamil dan menyusui memajukan fidyah dua hari atau lebih dari waktu berpuasa. Sebagaimana tidak boleh memajukan zakat untuk dua tahun. Namun, kalau memajukan fidyah untuk hari itu dibayar pada hari tersebut atau pada malamnya, seperti itu dibolehkan.” (Mughni Al-Muhtaj).
6. Waktu akhir penunaian fidyah tidak dibatasi. Fidyah tidak mesti ditunaikan pada bulan Ramadhan, bisa pula ditunaikan bakda Ramadhan. Ayat yang mensyariatkan fidyah (QS. Al-Baqarah: 184) tidaklah menetapkan waktu tertentu sebagai batasan. Fidyah ditunaikan sesuai kelapangan, walau ditunda beberapa tahun.
Orang yang diharuskan qadha bukan fidyah, contohnya adalah:
1. Orang yang berbuka karena pingsan
2. Orang yang sengaja batal selain dari jimak
3. Orang yang tidak berniat puasa dengan sengaja
Dalam Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i (1:350) disebutkan, “Bagi yang punya uzur terus menerus hingga Ramadhan berikut, maka ia wajib bayar qadha’ saja tanpa fidyah.” Yang menunda qadha puasa hingga masuk Ramadhan berikutnya tanpa uzur harus menjalankan dua kewajiban: (1) qadha puasa
sesuai jumlah hari yang belum dibayar, dan (2) membayar fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin. Adapun yang mendasari adanya fidyah adalah pendapat sebagian sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Adanya tambahan fidyah ini yang menjadi pendapat Imam Malik, Imam, Syafii, dan Imam Ahmad.