REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- FIFA menjatuhkan sanksi yang relatif ringan dan bersifat administratif kepada Indonesia seiring pencabutan mandat sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023. FIFA hanya "menghukum" dengan pembatasan dana subsidi FIFA Forward.
Terbebasnya Indonesia dari ancaman sanksi berat disyukuri banyak pihak. Tak terkecuali sejumlah pengamat sepak bola Tanah Air, yakni Mohamad Kusnaeni, Kesit Budi Handoyo, dan Akmal Marhali.
Meski demikian, mereka menilai pemerintah harus terus menjadi bagian dan berjalan beriringan dalam melakukan transformasi sepak bola nasional.
“Jangan biarkan PSSI sendirian. Transformasi sepak bola Indonesia adalah komitmen bersama yang harus dilaksanakan. Indonesia negara besar di dunia sepak bola internasional," kata Kusnaeni di Jakarta pada Kamis (6/4/2023) malam.
Ia mengakui Indonesia belum bisa berprestasi. Namun, menurut dia, FIFA melihat potensi yang dimiliki Indonesia yang punya massa sepak bola fanatis yang berlimpah dan mungkin yang terbaik di Asia.
"Sepak bola Eropa adalah masa kini, sementara masa depan ada di Asia dan Afrika. FIFA mencermati hal ini, jangan kecewakan mereka,” kata sosok yang biasa disapa Bung Kus ini.
Transformasi sepak bola Indonesia harus dijalankan dengan serius, mengingat FIFA akan melakukan pengawasan. Perbaikan harus dilakukan di berbagai lini. Tidak hanya mencakup infratruktur atau tata kelola kompetisi domestik tapi juga pembinaan usia dini yang selama ini tak terurus dengan baik.
“PSSI harus bekerja keras dan mendapat dukungan penuh,” kata Kesit menambahkan.
Ia secara tegas menyebut kegagalan Indonesia murni kesalahan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah mengendalikan masalah berefek buruk ke PSSI. Beruntung, kata dia, Indonesia masih selamat. “Harus ada perubahan besar-besaran ke depannya,” katanya.
Hal krusial yang penting dilakukan ke depannya memperjelas legal standing berkaitan dunia sepak bola Tanah Air dan cabang olahraga lainnya. Khususnya untuk kasus-kasus negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia atau di mata negara kita berstatus penjajah seperti misalnya Israel.
“PSSI harus duduk satu meja dengan organisasi olahraga lainnya untuk membahas hal ini bareng pemerintah. Kita mau di posisi apa, bersaing secara regional atau puas dengan kondisi saat ini. Maksudnya, kalau kita mau menggelar hajatan besar olahraga internasional, posisi politiknya harus tegas. Jangan lagi kejadian seperti Piala Dunia U-20. Kasihan PSSI, sudah capek-capek bidding dan akhirnya berhasil, tapi akhirnya gagal jadi tuan rumah karena penolakan berbagai elemen terhadap Israel. Mereka harus dibentengi menghadapi kasus-kasus ini ke depannya,” ujar Kusnaini.
Akmal menambahkan, pemerintah harus bisa meredam gejolak, memisahkan politik dan sepak bola. "Jangan sampai terjadi lagi PDIP alias Piala Dunia Isinya Politik. Apa yang terjadi kemarin, berkaitan dengan Piala Dunia U-20 memalukan. Beruntung lewat lobi-lobi yang ciamik, akhirnya FIFA tidak menghukum Indonesia dengan berat, cuma ke depan kejadian lagi sulit buat kita berkelit. Pemerintah harus berkomitmen terhadap sepak bola, tidak dimasuki intervensi politik,” kata Akmal.
Seiring Indonesia yang terbebas dari sanksi larangan beraktivitas di sepak bola internasional, para pengamat berharap PSSI bisa dapat kesempatan menghelat Piala Dunia U-17. FIFA baru saja membatalkan pelaksanaan event tersebut di Peru, karena ketidaksiapan pemerintah mereka.
“Piala Dunia U-17 momentum bagus buat Indonesia. PSSI dan pemerintah bisa memulihkan nama baik. Sejatinya kita siap menggelarnya. Jika FIFA benar-benar kemudian mempercayai kita jadi tuan rumah Piala Dunia U-17, mohon dengan sangat agar kepercayaan ini bisa dilaksanakan dengan baik. Jangan sampai kita terpeleset untuk kedua kalinya,” kata Kusnaeni.