Jumat 07 Apr 2023 13:25 WIB

Pengamat: Syarat Capres PDIP Jika Gabung Koalisi Besar Bentuk Penolakan Halus

Terbentuknya koalisi besar KIB - KKIR kemungkinan besar akan terwujud minus PDIP.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Agus Yulianto
Ketua DPP PDIP yang juga Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta.
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua DPP PDIP yang juga Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Andriadi Achmad mengatakan, posisi calon presiden yang diajukan PDIP sebagai salah satu syarat jika bergabung dengan koalisi besar sebagai syarat yang sulit diwujudkan. Andriadi pun menilai, syarat yang diajukan PDIP ini menunjukan keengganan partai itu bergabung dengan koalisi yang sedang dijajaki KIB-KKIR.

"Kalau kita lihat persyaratan berat tersebut menunjukkan penolakan secara halus PDIP untuk bergabung, apalagi yang diusung capres non-PDIP," ujar Andriadi dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Jumat (7/4/2023).

Andriadi menyebut, syarat yang diajukan PDIP ini bisa dipahami karena selama dua periode 2014 hingga 2024, koalisi besar pendukung pemerintahan Joko Widodo dikomandoi PDIP. Karena itu, menurutnya, terbentuknya koalisi besar KIB - KKIR kemungkinan besar akan terwujud minus PDIP.

Di samping, PDIP juga telah memenuhi presidential threshold 20 persen atau ambang batas presiden untuk mengajukan calon sendiri.

"Tinggal menunggu hitung-hitungan dan deal politiknya saja. Sudah pasti terkait dengan planning pembagian kekuasaan. Semakian menguatkan statemen bahwa dalam politik itu yang abadi adalah kepentingan (kekuasaan), kawan bisa jadi lawan, begitu juga lawan bisa jadi kawan," ujar Direktur Eksekutif Nusantara Institute Political Communication Studies and Research Centre (PolCom SRC).

Dia melanjutkan, dalam pemerintahan presidensial, pembentukan koalisi juga merupakan kombinasi yang sulit dan tidak terlalu efektif dalam menentukan kemenangan. Ini karena kemenangan capres - cawapres tergantung pilihan rakyat dalam pilpres secara langsung.

Kondisi ini berbeda dengan sistem parlementer, dimana koalisi besar dalam parlemen lah yang menjadi penguasa atau pemerintahan. "Walaupun kecil kemungkinan PDIP akan bergabung dengan koalisi KIB - KKIR, tapi masih cair dan dinamis jika PDIP merelakan hanya di posisi cawapres dan capres tetap dari koalisi KIB-KKIR atau kemungkinan kedua, koalisi KIB - KKIR mengikhlaskan posisi sebagai cawapres, sedangkan capres dari PDIP," ujarnya.

Sebelumnya, Ketua DPP PDI Perjuangan Said Abdullah mengatakan, bahwa PDIP wajar apabila menginginkan posisi bakal calon presiden apabila bergabung dengan koalisi besar.

"PDIP itu sendiri bisa, tapi kami PDIP yang selalu berteriak membangun bangsa dengan cara gotong royong. Itu artinya PDIP enggak mau sendirian, akan bekerja sama. Nah, pada titik itu, PDIP kalau ngambil posisi capres, ya wajar-wajar saja, make sense lah. Bukan mau-maunya PDIP, enggak seperti itu, logic, sangat rasional," kata Said di Jakarta, Selasa (4/4).

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement