REPUBLIKA.CO.ID, ALALABAD -- Ulama Afghanistan mengkritik larangan pendidikan bagi perempuan. Pernyataan ini menentang peringatan Pejabat Kementerian Pendidikan Tinggi Afghanistan Nida Mohammad Nadim agar para ulama tidak memberontak terhadap pemerintah atas masalah kontroversial tersebut.
Sebanyak dua ulama terkenal di Afghanistan, Abdul Rahman Abid dan Toryali Himat, mengatakan pada Sabtu (8/4/2023), bahwa pihak berwenang harus mempertimbangkan kembali keputusannya. Oposisi publik terhadap kebijakan Taliban jarang terjadi, meskipun beberapa pemimpin Taliban telah menyuarakan ketidaksetujuan terhadap proses pengambilan keputusan.
Abid mengatakan, institusi pendidikan harus diizinkan untuk menerima kembali anak perempuan dan perempuan melalui kelas terpisah. Sekolah dan kampus perlu mempekerjakan guru perempuan, mengatur jadwal, dan bahkan membangun fasilitas baru.
Pengetahuan, menurut Abid, adalah wajib dalam Islam untuk laki-laki dan perempuan. Ajaran Islam pun mengizinkan perempuan untuk belajar.
“Putri saya tidak masuk sekolah, saya malu, saya tidak punya jawaban untuk putri saya. Putri saya bertanya mengapa anak perempuan tidak diperbolehkan belajar dalam sistem Islam. Saya tidak punya jawaban untuknya," ujar Abid.
Abid mengatakan, reformasi diperlukan. Dia memperingatkan bahwa penundaan akan merugikan komunitas Islam global juga melemahkan pemerintah.
Sedangkan Himat yang merupakan anggota Taliban mengatakan, masih ada waktu bagi Kementerian Pendidikan untuk menyelesaikan masalah pendidikan anak perempuan. Dia mengutip kementerian yang terdiri dari lingkaran dalam pemimpin tertinggi Hibatullah Akhundzada yang berbasis di Kandahar.
Atas perintah Hibatullah, pemerintah melarang anak perempuan berada di ruang kelas. Himat mengatakan, ada dua jenis kritik, yang satu merusak sistem dan yang lain membuat kritik korektif.
“Islam memperbolehkan laki-laki dan perempuan untuk belajar, tapi hijab dan kurikulum harus diperhatikan,” kata Himat.
“Kritik korektif harus diberikan dan emirat Islam harus memikirkan hal ini. Di mana tidak ada kritik, ada kemungkinan korupsi. Pendapat pribadi saya adalah bahwa anak perempuan harus mendapatkan pendidikan hingga tingkat universitas," ujar ulama itu.
Anak perempuan tidak bisa bersekolah di luar kelas enam di Afghanistan, dengan larangan pendidikan meluas ke universitas. Perempuan dilarang dari ruang publik, termasuk taman, dan sebagian besar bentuk pekerjaan. Pekan lalu, perempuan Afghanistan dilarang bekerja di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pihak berwenang menyatakan pembatasan pendidikan sebagai penangguhan sementara, bukan larangan abadi. Namun kampus dan sekolah dibuka kembali pada Maret tanpa siswa perempuan.
Larangan tersebut telah menimbulkan kegemparan internasional. Tindakan tersebut meningkatkan isolasi terhadap negara tersebut pada saat ekonominya runtuh dan memperburuk krisis kemanusiaan.
Nadim mengatakan pada Jumat (7/4/2023), bahwa ulama tidak boleh menentang kebijakan pemerintah. Dia membuat pernyataan setelah ulama lain Abdul Sami Al Ghaznawi mengatakan kepada siswa di sebuah sekolah agama bahwa tidak ada konflik atas pendidikan anak perempuan.
Al Ghaznawi mengatakan kitab suci Islam menjelaskan dengan terang bahwa pendidikan anak perempuan dapat diterima. Atas pernyataan ini Nadim langsung menyemprotnya dengan menyebut "seorang ulama yang terhormat" di bagian atas pernyataan video yang dirilis di media sosial.
“Kamu mendorong orang-orang untuk memberontak, jadi apa hasilnya? Hasilnya adalah pemberontakan terhadap (larangan) ini diperbolehkan. Jika orang didorong untuk memberontak melawan sistem, apakah itu akan menguntungkan umat Islam?” kata Nadim.
Juru bicara menteri pendidikan Hafiz Ziaullah Hashimi membenarkan ucapan Nadim tersebut. Namun dia tanpa memberikan rincian lebih lanjut tentang siapa yang mereka tuju atau alasan di baliknya.