REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Ribuan orang Israel yang dipimpin oleh setidaknya tujuh menteri Kabinet berbaris ke pemukiman Tepi Barat pada Senin (10/4/2023). Mereka bertekad untuk mempercepat pembangunan pemukiman di tanah yang diduduki meskipun ada tentangan internasional.
Unjuk rasa massa juga mengancam akan meningkatkan ketegangan lebih lanjut. Padahal ketegangan telah meningkat selama berhari-hari kerusuhan di seluruh wilayah Yerusalem yang diperebutkan.
Pawai ini berlangsung di Tepi Barat utara, tempat kekerasan berulang dalam beberapa bulan terakhir. Ribuan polisi Israel dan pasukan tentara dilaporkan dikerahkan untuk mengamankan pawai. Kegiatan ini dipimpin oleh para pemukim Yahudi ultranasionalis garis keras.
Pemimpin pemukiman Daniella Weiss mengatakan kepada radio publik Kan, bahwa partisipasi para menteri dalam pawai bisa menjadi terapi bagi pemerintah Israel. Pemerintah negara itu dapat membebaskan diri dari keterlibatan Amerika Serikat (AS) dan Eropa terkait pemukiman Tepi Barat.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memimpin pemerintahan paling religius dan ultranasionalis dalam sejarah Israel. Beberapa anggota Kabinetnya, termasuk Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan setidaknya 20 anggota Knesset ikut serta dalam pawai tersebut.
"Kami di sini untuk mengatakan bahwa bangsa Israel kuat dan bahwa kami di sini dan akan tetap di sini," ujar Ben-Gvir dalam pawai tersebut.
Pawai terbaru ini tampaknya sebagian ditujukan untuk menopang dukungan bagi garis keras Israel seperti Ben-Gvir. Jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan penurunan tajam dalam dukungan untuk pemerintah garis keras baru setelah berbulan-bulan kekerasan, termasuk meningkatnya ketidakpuasan di antara orang-orang yang memilihnya.
Kegiatan tersebut menggiring peserta pawai berjalan area Eviatar. Wilayah ini merupakan area pemukiman liar di Tepi Barat utara yang dievakuasi oleh pemerintah Israel sebelumnya pada 2021.
Kunjungan ke Eviatar secara resmi dilarang oleh militer sejak evakuasinya, tetapi larangan itu diberlakukan secara longgar dalam beberapa bulan terakhir. Juru bicara militer Israel Letnan Kolonel Richard Hecht mengatakan, militer menyetujui pawai dengan pengawasan penuh dan sangat dilindungi.
Puluhan keluarga, hampir semuanya Yahudi Ortodoks, banyak dari mereka mendorong kereta bayi, ikut serta dalam pawai tersebut. Di pemukiman liar ini, seluncuran tiup dipasang untuk anak-anak melompat dan bermain.
Pawai berlalu tanpa kekerasan besar, meskipun pasukan Israel menembakkan gas air mata ke warga Palestina di desa terdekat Beita. Mereka melemparkan batu ke arah tentara untuk memprotes pawai tersebut.
Layanan medis Bulan Sabit Merah Palestina mengatakan, dua orang, termasuk seorang jurnalis, ditembak oleh peluru karet Israel, sementara 115 orang menderita inhalasi gas air mata. Sebuah video yang beredar di media sosial memperlihatkan sebuah tabung gas air mata mendarat di samping seorang jurnalis Palestina saat menyampaikan sebuah laporan siaran televisi.
Ketegangan antara Israel dan Palestina telah melonjak menyusul serangan polisi di kompleks Masjid Al Aqsa Yerusalem selama bulan suci Ramadhan pekan lalu. Bagi orang Yahudi, area itu dikenal sebagai Temple Mount, situs tersuci dan tempat dua Kuil berdiri di zaman kuno. Bagi umat Islam, area ini dikenal sebagai tempat suci ketiga karena berdiri Masjid Al Aqsa.
Israel merebut Tepi Barat, bersama dengan Jalur Gaza dan Yerusalem timur, dalam perang Timur Tengah 1967. Pemerintah Tel Aviv pun telah membangun lusinan pemukiman yang sekarang menjadi rumah bagi lebih dari 700 ribu pemukim Yahudi.
Sebagian besar komunitas internasional menganggap permukiman Israel di Tepi Barat ilegal dan menjadi penghalang perdamaian dengan Palestina. Orang-orang Palestina mencari Tepi Barat, bersama dengan Gaza dan Yerusalem timur untuk sebuah negara merdeka di masa depan.