REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK – Setara Institute baru-baru ini mengeluarkan laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2022 yang mengkaji praktik-praktik toleransi di 94 kota di Indonesia. Salah satu hasilnya menunjukkan, Kota Depok, Jawa Barat menjadi daerah dengan peringkat ke-93, atau dua terbawah, dengan Kota Cilegon di peringkat terbawah atau ke-94.
Artinya, dalam tiga tahun terakhir, Kota Depok tetap berada di peringkat bawah sebagai kota intoleran. Pada IKT tahun 2021, Kota Depok menduduki peringkat ke-94 atau paling bawah, kemudian pada 2020, Kota Depok menempati peringkat ke-86.
Setara menyebut, hasil ini didapat dengan melihat delapan indikator, yaitu terkait regulasi pemkot dalam bentuk RPJMD, ada tidaknya kebijakan diskriminatif, peristiwa intoleransi, dinamika masyarakat sipil, pernyataan publik pemerintah kota, tindakan nyata pemerintah kota, hterogenitas agama hingga soal inklusi sosial keagamaan.
Melalui delapan indikator, Kota Depok mendapatkan skor 3,610 pada IKT 2022. Hasil ini berbeda jauh dari Kota Singkawang di peringkat teratas dengan skor 6,583. Berbeda jauh juga dengan kota lain di Jawa Barat, yaitu Bekasi yang meraih peringkat ketiga dengan skor 6,080.
Evaluasi yang dilakukan Setara menyebutkan, kota-kota di peringkat terbawah dalam IKT disebabkan karena kepemimpinan yang mengedepankan identitas agama tertentu baik pada visi dan misi, sehingga cenderung akan menerbitkan kebijakan-kebijakan favoritisme identitas agama yang mewakili dirinya.
Ada juga soal perspektif mayoritaniasme atau perspektif viktimisme minoritas-mayoritas menjadi dasar penyelenggaraan kebijakan, sehingga pemerintah kota memiliki kecenderungan untuk menyelenggarakan program-program yang eksklusif dan hanya berorientasi kepada kelompok tertentu.
Alasan lainnya adalah karena Pemerintah kota dianggap tidak mengelola kehidupan kerukunan dan toleransi pada umumnya juga tidak banyak memberikan ruang perlindungan serta kurang memfasilitasi kebebasan merayakan hari-hari besar agama. Hingga Pemkot dinilai lebih banyak mengorientasi kebijakan-kebijakannya dengan menggunakan pendekatan-pendekatan keagamaan yang dianutnya.
Setara kemudian merekomendasikan berbagai solusi untuk menyelesaikan masalah ini. Seperti perbaikan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat, terutama dalam membangun jaminan kebebasan beragama berkeyakinan serta perlindungan terhadap kelompok minoritas dan rentan.
"Penetapan skema kualifikasi kepemimpinan untuk pemimpin daerah. Pemimpin daerah harus memiliki kesadaran akan wawasan kebangsaan, kemajemukan dan kebhinekaan. Dengan kesadaran tersebut, para pemimpin daerah dapat menghasilkan visi, misi, RPJMD sampai dengan Indikator Kinerja kota yang sesuai dengan kapasitas kebhinekaan termasuk menjadikannya sebagai program prioritas kota," jelas Setara dalam rilisnya.