REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi III DPR yang juga Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Bambang Wuryanto menanggapi pernyataan viralnya terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset terkait tindak pidana yang harus dikomunikasikan dengan ketua umum partai. Menurut dia, komunikasi tersebut perlu dilakukan, mengingat potensi yang dapat dihadirkan lewat payung hukum tersebut.
"Kami sebagai kader partai memahami bahwa isu RUU Perampasan Aset itu bisa menciptakan otoritarian baru bagi seorang yang berkuasa. Itulah kenapa kita harus ngomong coba itu bicara dulu kan para ketum partai, karena itu bisa menciptakan otoritarian baru," ujar pria yang akrab disapa Bambang Pacul itu di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/4).
Kendati demikian, ia membantah disebut tak memperjuangkan aspirasi publik terkait RUU Perampasan Aset. Namun, Bambang mengungkit bahwa kekuasaan di Indonesia bergantung pada partai politik yang mewakili rakyat.
"Kan sudah dibilangin bahwa yang namanya kekuasaan di republik ini tergantung ketua partai. Kenapa ketua umum partai Pak Pacul? Pemilunya begitu, capres-cawapres yang mengajukan siapa? Gabungan partai politik atau partai politik," ujar Bambang.
Di samping itu, Komisi III sendiri belum menerima surat presiden (Surpres) yang memerintahkan pembahasan RUU Perampasan Aset. Mengingat, RUU tersebut merupakan usul inisiatif dari pemerintah.
"Nomor satu surpresnya belum (dikirim ke DPR). Kemudian Bambang Pacul di sini, di sini tuh DPR RI terdiri dari sembilan fraksi, namanya bukan fraksi rakyat, tapi Fraksi PDIP, Fraksi Golkar, Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi PKB, dan lain-lain," ujar Bambang.
"Tidak ada tulisan fraksi rakyat," katanya melanjutkan.
Anggota Komisi III Arsul Sani mengatakan, DPR selalu mendukung langkah pemerintah dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menggunakan metode omnibus law.
Karena itu, ia membantah jika Komisi III menghalangi pembahasan RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana. Saat ini, Arsul menjelaskan, Komisi III menunggu naskah akademik dan draf RUU tersebut.
"Wong sekarang naskahnya ada di mana aja posisinya nggak jelas, kok dibilang DPR-nya nggak mau bahas atau menghalang-halangi, iki opo iki? Gitu loh. Jadi, jangan ada dusta di antara kita," ujar Arsul di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta.
Ia menjelaskan, RUU Perampasan Aset merupakan usul inisiatif dari pemerintah. Untuk pembahasannya, Komisi III tentu menunggu surat presiden (surpres) dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memerintahkan wakilnya dalam pembahasan.
"Kita ingin juga memperbaiki negara kita, tapi dengan sikut kanan, sikut kiri, nggak pas juga gitu loh. Kita itu harus bicara data empirisnya apa, gitu loh. Ini yang saya kira juga perlu sama-sama kita luruskan," ujar Arsul.