REPUBLIKA.CO.ID, YANGON – Setidaknya 50 orang dilaporkan tewas ketika militer Myanmar melancarkan serangan udara ke wilayah Sagaing, Selasa (11/4/2023). Serangan tersebut menargetkan upacara yang digelar Angkatan Pertahanan Rakyat Lokal, sebuah kelompok milisi anti-junta Myanmar.
Seorang anggota Angkatan Pertahanan Rakyat Lokal mengungkapkan, sejumlah jet tempur melepaskan tembakan dan serangan ketika kelompoknya sedang menggelar upacara untuk meresmikan pembukaan kantor lokal mereka di Sagaing. “Sejauh ini jumlah pasti korban masih belum diketahui. Kami belum dapat mengambil seluruh mayat,” ucapnya.
Namun sejumlah media seperti BBC Burma, Radio Free Asia, dan portal berita Myanmar Irrawaddy melaporkan, antara 50 hingga 100 orang, termasuk warga sipil, tewas akibat serangan udara militer Myanmar. Jumlah itu mereka peroleh dengan mengutip keterangan penduduk Sagaing.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengutuk keras serangan udara ke Sagaing. “(Guterres) mengulangi seruannya agar militer mengakhiri kampanye kekerasan terhadap populasi Myanmar di seluruh negeri,” kata seorang juru bicara Sekretaris Jenderal PBB.
Serangan ke Sagaing pada Selasa lalu menjadi salah satu serangan paling mematikan yang dilakukan militer Myanmar. Bulan lalu, setidaknya delapan warga sipil, termasuk anak-anak, tewas dalam serangan udara ke sebuah desa di Myanmar barat laut.
Militer Myanmar telah membantah tuduhan internasional bahwa mereka melakukan kekejaman terhadap warga sipil. Junta mengklaim bahwa mereka memerangi “teroris” yang bertekad untuk mengacaukan Myanmar.
Krisis di Myanmar pecah setelah militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil di sana pada Februari 2021. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD). NLD adalah partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi.
Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu yang digelar pada November 2020. Dalam pemilu itu, NLD menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.
Setelah kudeta, hampir seluruh wilayah di Myanmar diguncang gelombang demonstrasi. Massa menentang kudeta dan menyerukan agar para pemimpin sipil yang ditangkap dibebaskan. Namun militer Myanmar merespons aksi tersebut secara represif dan brutal. Hampir 2.300 warga sipil yang berpartisipasi dalam demonstrasi menentang kudeta tewas di tangan tentara-tentara Myanmar.
Menurut PBB, setidaknya 1,2 juta orang juga telah terlantar atau kehilangan tempat tinggal akibat pertempuran pasca-kudeta.