REPUBLIKA.CO.ID, KIEV – Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mengungkapkan, sebanyak 8.490 warga sipil di Ukraina telah tewas akibat serangan Rusia. Angka itu dihitung sejak Moskow memulai serangan militernya pada Februari tahun lalu.
OHCHR mengatakan, sebagian besar kematian tercatat di wilayah yang dikuasai Ukraina dan menjadi target serangan Rusia. Di wilayah Donetsk dan Luhansk, misalnya, OHCHR mencatatkan 3.927 korban sipil tewas akibat pertempuran.
"OHCHR percaya bahwa angka (total kematian) sebenarnya jauh lebih tinggi, karena penerimaan informasi dari beberapa lokasi di mana permusuhan intens terjadi telah tertunda dan banyak laporan masih menunggu konfirmasi," kata OHCHR dalam sebuah pernyataan, Selasa (11/4/2023).
Bulan lalu, sebuah badan investigasi mandat PBB menemukan bahwa pasukan Rusia telah melakukan serangan "serampangan dan tidak proporsional" di Ukraina. Namun Rusia membantah menargetkan warga sipil atau melakukan kekejaman dalam apa yang mereka sebut operasi militer di Ukraina.
Meski sudah berlangsung lebih dari setahun, belum ada tanda-tanda konflik Rusia-Ukraina akan mereda atau berakhir. Awal bulan ini Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu mengatakan, negaranya telah secara signifikan meningkatkan produksi senjata presisi tinggi. Seiring dengan peningkatan tersebut, pasokan persenjataan dan amunisi untuk pasukan Rusia di Ukraina pun bakal digandakan.
“Semua ini memungkinkan untuk melaksanakan tugas yang ditetapkan oleh Panglima Tertinggi (Presiden Rusia Vladimir Putin) sesuai dengan rencana untuk melakukan operasi militer khusus,” kata Shoigu saat berkunjung ke markas besar Kelompok Pasukan Gabungan di Moskow, 1 April lalu.
Dalam kegiatan yang turut dihadiri para perwira militer senior Rusia itu, Shoigu juga mendengarkan laporan tentang penyediaan amunisi untuk pasukan Rusia di Ukraina. Dia berjanji akan meningkatkan pasokan amunisi guna menunjang pertempuran. “Volume pasokan amunisi yang paling banyak diminta telah ditentukan. Langkah-langkah yang diperlukan sedang diambil untuk meningkatkannya,” ucapnya.
Sementara itu, Duta Besar Rusia untuk PBB Vasily Nebenzya telah mengatakan, pertempuran di Ukraina tidak akan selesai selama Amerika Serikat (AS) terus menyuplai senjata untuk Kiev. “Perdamaian dapat dibangun di Ukraina sejak lama jika AS dan sekutunya tidak membanjiri rezim Kiev dengan senjata dan tidak memaksanya melemparkan ribuan wajib militer baru ke dalam pembantaian yang tidak masuk akal,” ucap Nebenzya dalam pertemuan di Dewan Keamanan PBB, 31 Maret lalu.