REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transparency International Indonesia (TII) mengungkapkan, berdasarkan studi yang dilakukan dalam waktu setahun terakhir, sebanyak 30 persen masyarakat di Indonesia pernah memberi suap saat mengakses layanan publik. Dari studi tersebut juga terungkap alasan pemberian suap.
"Kenapa kemudian mereka ingin membayar suap? Alasan nomor satu sebagai tanda terima kasih," kata Program Manager TII Alvin Nicola dalam keterangan tertulisnya, Selasa (11/4/2023).
Alvin mengatakan, sebanyak 33 persen masyarakat yang menjadi objek studi mengakui alasan tersebut. Sedangkan sisanya, mengaku memberi suap karena diminta petugas hingga iming-iming percepatan proses.
"Ada juga yang memang karena diminta oleh petugasnya alias membayar biaya yang tidak resmi (25 persen) atau karena ditawari agar prosesnya jauh lebih cepat (21 persen)," ungkap dia.
Berdasarkan catatan TII, pemberian suap paling tinggi melibatkan layanan di kepolisian yang mencapai 41 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata di Asia yang hanya sebesar 23 persen.
Meski demikian, Alvin menjelaskan, masyarakat sebenarnya menyadari praktik suap di lingkungan pemerintahan ini menjadi masalah besar. Jumlahnya, kata dia, bahkan mencapai 90 persen berdasarkan hasil studi yang dilaksanakan TII.
Menanggapi hasil studi tersebut, Dewan Penasehat HIPPINDO, Tutum Rahanta mengatakan, praktik suap memang kerap terjadi pada masyarakat, termasuk pengusaha. Menurut dia, para pelaku usaha cenderung membutuhkan akses cepat terhadap proses-proses perizinan usaha. Sehingga tak jarang mengikuti praktik curang itu.
"Pelaku usaha memperhitungkan untuk efesiensi. Efesiensi itu salah satunya waktu. Semuanya kalau selama bisa dibeli dengan uang, apakah itu tidak korup ataupun korup, pasti akan dilakukan," ungkap Tutum.
Dia menyebut, praktik suap menyuap dalam mengakses pelayanan publik oleh pelaku usaha terjadi karena adanya peluang, sistem yang kurang baik, dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak berintegritas. Sehingga mereka cenderung mengambil jalan pintas yang disediakan oknum tertentu.
Di samping itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Haryanto memastikan, pihaknya terus memperbaiki sistem birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada publik.
Hal itu menindaklanjuti arahan Presiden Jokowi agar pemerintah bisa memberikan layanan yang efektif dan akuntabel, sebagai upaya memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
"Bahwa yang namanya reformasi birokrasi intinya adalah melayani rakyat dengan lebih baik. Artinya, melayani rakyat harus lebih efektif dan akuntabel karena bicara demokrasi," jelas dia.