Oleh: Verdy Firmantoro, Kandidat Doktor FISIP Universitas Indonesia; Dosen dan Peneliti Indopol
Membaca Anas Urbaningrum (AU) sama dengan membaca perjalanan reformasi. AU dilahirkan dari dunia aktivisme dan reformasi menjadi mekanisme perjuangan demokratisasi. Seperempat abad reformasi bukan waktu yang singkat. Ada perubahan dan kemajuan, tapi ada turbulensi juga tak sedikit yang masih jauh dari harapan. Begitu juga AU, perjalanannya penuh dinamika, dilema dan dialektika. Benang merahnya, AU dan reformasi sama-sama punya cerita, pendukung sekaligus pengkritik. Semua dibenarkan atas nama kebebasan, ketidakpuasan dan kesetaraan.
Lebih lanjut, antara AU dan reformasi, keduanya punya kesamaan, sama-sama menghadapi kekuasaan. Meminjam istilah Bruce L. Felknor, kalau sudah masuk politik kekuasaan, harus siap menghadapi risiko persaingan yang mengakar dan kejam, pembunuhan, penjara dan sisanya memperjuangkan pertarungan. Hari ini adalah hari kebebasan AU. Baginya, “kehilangan keberanian adalah musibah, kehilangan harapan adalah kehilangan segalanya”. Begitu juga merenungi perjalanan reformasi, ada catatan kritis belum sesuai tuntutan awal, tapi ada optimisme yang perlu dinyalakan”.
AU dan Agenda Reformasi
AU dibesarkan lewat jalur politik. Pendidikan sarjana hingga doktoralnya adalah ilmu politik. Kiprahnya di organisasi gerakan mahasiswa bahkan pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI juga mengasah keterlibatannya di kancah politik. Dalam kapasitasnya sebagai pimpinan organisasi mahasiswa itu sejak 1997, ia banyak bersentuhan dengan agenda reformasi. Salah satu tuntutan reformasi adalah merevisi Undang-Undang Politik, di situ AU terlibat dalam Tim Tujuh.
Agenda reformasi berlanjut, saat pemilu 1999, AU menjadi bagian dari Tim Sebelas atau Tim Seleksi Partai Politik. Kiprahnya dalam urusan politik terus melesat dari menjadi anggota KPU, duduk di parlemen hingga memenangi kongres ketua umum Partai Demokrat. Semangatnya sebagai aktivis tak pernah surut, ketika semua baju kebesaran ditanggalkan, ia tetap merawat asa kebangsaan di Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) sampai saat ini.
Setidaknya ada dua karya yang bisa digunakan untuk melacak pemikiran politik AU terutama yang relevan untuk mengawal agenda reformasi. Pertama, orasi kebudayaan tentang Membangun Budaya Demokrasi. Kedua, buku Revolusi Sunyi. Melalui kedua karya pemikiran tersebut, kita bisa melihat posisi AU dan sikapnya yang mengkritik pemberian karpet merah dalam berpartai pada orang-orang yang punya privilege ‘ascribed status’-status yang diperoleh tanpa diusahakan. Melalui bukunya itu juga, kita bisa membaca karakter AU yang tak suka gaduh.
Agenda reformasi masih panjang. Energi kebebasan AU bisa kembali dicurahkan untuk memikirkan bangsa ini. Seperti dalam buku AU yang lain, ia menyadari bahwa masih banyak ranjau-ranjau reformasi, tapi jangan mati reformasi, takdir demokrasi: politik untuk kesejahteraan rakyat.