REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA – Sebuah panel ahli PBB telah mendesak komunitas internasional mengambil tindakan untuk menghentikan aksi penggusuran dan pemindahan paksa warga Palestina oleh Israel di Yerusalem Timur. Mereka menyebut tindakan Israel itu adalah bagian aneksasi dan de-Palestinaiasi Yerusalem.
Panel pakar PBB terdiri dari pelapor khusus situasi hak asasi manusia (HAM) di wilayah Palestina yang diduduki Francesca Albanese, pelapor khusus tentang hak atas perumahan layak Balakrishnan Rajagopal, dan pelapor khusus tentang HAM pengungsi internal Paula Gaviria Betancur.
Dalam sebuah pernyataan bersama, mereka mengungkapkan, saat ini perhatian dunia tengah tertuju pada kesewenang-wenangan pasukan Israel di kompleks Masjid Al-Aqsa serta serangan terhadap Israel yang diluncurkan dari Jalur Gaza, Lebanon, dan Suriah. “Sementara itu kematian sepuluh kali lipat warga Palestina tidak menjadi berita utama yang sama,” kata para pakar PBB tersebut, Kamis (13/4/2023), dikutip laman Middle East Monitor.
Mereka menekankan, di bawah pendudukan Israel, warga Palestina terus dipaksa keluar dari rumah mereka. Israel kemudian merampas tanah dan properti mereka berdasarkan undang-undang yang diskriminatif. "Mereka (Israel) mengatakan undang-undang ini dirancang untuk mengkonsolidasikan kepemilikan Yahudi di Yerusalem, mengubah komposisi dan status demografisnya,” ucap mereka.
Menurut mereka, keputusan Israel memindahkan penduduknya ke wilayah Palestina yang diduduki menegaskan niat yang disengaja untuk menjajah. Praktik demikian sangat ditentang dan dilarang oleh hukum internasional. Ketiga pakar PBB mengungkapkan, terdapat 150 keluarga Palestina di lingkungan sekitar Kota Tua Yerusalem, seperti Silwan dan Sheikh Jarrah, yang berisiko menghadapi penggusuran paksa oleh otoritas Israel serta organisasi pemukim.
“Selama beberapa dekade terakhir, ratusan properti warga Palestina di Yerusalem Timur yang diduduki telah diambil alih oleh para pemukim, sebagian karena undang-undang yang mengklaim mengizinkan pengalihan properti Yahudi pra-1948 kepada 'pemilik asli Yahudi' atau 'ahli waris’ mereka,” kata Albanese, Rajagopal, dan Betancur dalam pernyataan bersama mereka.
"Ini adalah tindakan hukum. Undang-undang ini diskriminatif dan serakah dengan sengaja, dan tidak ada hak untuk restitusi seperti itu bagi lebih dari 1 juta warga Palestina dan keturunan mereka yang terlantar serta dirampas dari Yerusalem, Israel, dan seluruh Tepi Barat serta Gaza pada 1947 dan 1967. Mereka masih merindukan keadilan," kata mereka menambahkan.
Mereka mengingatkan, pendirian dan perluasan pemukiman ilegal di wilayah pendudukan merupakan pelanggaran berat hukum internasional. Tindakan itu bisa dituntut di bawah Statuta Roma. Mereka mengungkapkan, bagi warga Palestina, penikmatan HAM adalah harapan yang jauh. Sebab penindasan hak-hak tersebut merupakan bagian dari arsitektur pendudukan Israel.
"Pendudukan selama hampir 56 tahun dan cara yang diizinkan untuk melakukan dirinya sendiri dengan impunitas umum dan tanpa konsekuensi, membuat hukum internasional menjadi lelucon dan kredibilitas sistem yang diamanatkan untuk menegakkannya. Pendudukan harus diakhiri secepatnya dan, sampai hari itu, Israel harus sepenuhnya mematuhi hukum humaniter internasional dan kewajiban hukum HAM internasional,” kata para pakar PBB.