REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN – Pakar Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Nyarwi Ahmad, mengatakan media sosial menjadi penggerak peradaban di era digital saat ini. Hal tersebut lantaran saat ini manusia tidak lagi hidup dengan media, tetapi juga hidup di dalam media.
"Sekarang media adalah kita masalahnya dan kita adalah media juga. Di sini media menjadi channel yang menyerap, mengekstrak peradaban," kata Nyarwi dalam Ramadhan Public Lecture yang digelar di Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (14/4/2023).
Nyarwi juga memaparkan lima hal yang bisa menggerakan, menumbuhkan, sekaligus menghancurkan peradaban dunia. Pertama yakni tahta (power), kemudian harta (wealth), ketiga wanita atau pasangan hidup, yang keempat agama, dan yang terakhir media sosial.
"Media sosial bisa menjadi berkah sekaligus musibah. Kita menikmati banyak hal dari sosmed (media sosial), tapi ada banyak masalah. Celakanya dari keempat sebelumnya, itu ternyata terakhir bermuara di sosmed,” ujarnya.
Dosen Ilmu Komunikasi UGM itu mengatakan bahwa kemunculan media sosial berhasil membuat institusi yang memiliki otoritas runtuh. Ia menambahkan, bahkan tokoh keagamaan jika ingin populer harus masuk media sosial.
"Mau tidak mau harus berdakwah melalui sosmed, tokoh politik juga begitu, tokoh apa saja, lembaga negara apa saja dia harus turun ke square, karena kalau dia berdiri di tower, tower ini sudah runtuh," tuturnya.
Untuk itu menurutnya diperlukan navigasi diri dalam mengelola berbagai kreativitas, termasuk identitas dan jati diri bangsa di masa depan. Salah satunya adalah kemampuan dalam mengelola media sosial.
"Nanti di masa depan kita belum tahu lagi apalagi yang akan berkembang dengan berbagai platform di sosial media, dan kita hanya bisa beradaptasi seperti ikan di lautan yang kita harus survive dalam kondisi lautan apa saja kita berkembang tumbuh bersama dengan yang lain," katanya.
Sementara itu Pendiri Narasi TV, Najwa Shihab, mengingatkan agar masyarakat tidak terjebak pada kepanikan moral sebagaimana yang terjadi tiap kali ada sesuatu yang baru. Seolah-olah setiap kemajuan atau hal baru meruntuhkan moral dan keselamatan publik.
"Teknologi itu pedang bermata dua. Daripada kita sibuk melarang orang bermain pedang, lebih baik kita membekali orang kemampuan untuk selihai mungkin bermain pedang. Karena orang yang pandai bermain pedang tidak akan terkena mata pedangnya sendiri," ungkapnya.