REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dari hari ke hari ragam inmoralitas berubah seolah alami (natural) dalam kehidupan. Bahkan ragam immoralitas itu dikampanyekan sebagai ekspresi nilai kemajuan dan modernitas.
Manusia tidak saja biasa melakukan dosa dan penyelewengan. Bahkan kerap kali bangga dengan dosa-dosa dan penyelewengan itu.
Pendiri Nusantara Foundation New York, Imam Shamsi Ali, mengatakan hal itu bisa terjadi padahal manusia yang secara mendasar sejetinya baik (fitrah).
Alasannya adalah mereka yang memposisikan hawa nafsu manusia yang begitu penting. Penting karena hawa nafsu menjadi engine (mesin) kehidupan. Tanpa hawa nafsu sejatinya kehidupan manusia mengalami stagnasi dan kematian.
Masalahnya kemudian adalah ketika dorongan hawa nafsu itu kehilangan kendali. Manusia tidak lagi berada pada posisi mengendalikan hawa nafsu (subjek).
Tapi berada pada posisi dikendalikan hawa nafsu (objek). Pada akhirnya manusia menjadi hamba dan korban hawa nafsunya sendiri.
"Di sinilah puasa hadir sebagai keberkahan besar. Puasa yang kita kenal beresensi “imsak” (mengendalikan atau mengontrol) menjadi instrument penting dalam membangun kekuatan bagi manusia untuk mengendalikan hawa nafsunya," ujar dia.
Dan karenanya puasa sesungguhnya bukan sekadar menahan makan, minum dan kenyamanan duniawi lainnya.
Semua itu hanya aksi simbolik dalam pengendalian. Esensi menahan atau imsak justru ada pada menahan dorongan hawa nafsu yang begitu kuat dalam diri manusia.
Kegagalan manusia dalam menguasai (mengendalikan) hawa nafsunya menjadikannya liar. Bahkan lebih liar dari binatang di tengah belantara hutan.
Manusia yang tidak mengendalikan hawa nafsu akan melakukan kejahatan dan kerusakan bahkan jauh lebih besar dari kerusakan yang dapat diakibatkan oleh makhluk-makhluk Allah SWT yang lain.
Baca juga: Yang Terjadi Terhadap Tentara Salib Saat Shalahuddin Taklukkan Yerusalem
Dan karenanya kerusakan-kerusakan yang telah nampak di darat dan di laut itu akibat ulah tangan-tangan manusia. Tangan-tangan yang terkendalikan dan diperbudak oleh hawa nafsu yang tiada batas. Hawa nafsu jauh lebih besar dari batasan dunia. Dan hanya akan sadar batas ketika masuk ke dalam liang lahat (hatta zurtum al-maqaabir).
Berbagai eksploitasi alam dan sesama manusia, termasuk peperangan-peperangan tadi, bahkan dengan ragam justifikasi yang manis seperti kebebasan, HAM, demokrasi dan seterusnya semuanya kembali kepada hawa nafsu yang tak terkendali. Realita ini yang diekspresikan di Surah An Naziat:
فَأَمَّا مَنْ طَغَىٰ وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
"Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya)." (QS An Nizaat ayat 37-39)
Semoga puasa kali ini benar-benar melatih kita dalam mengendalikan dorongan hawa nafsu. Kita pegang, kita kendalikan, kita arahkan, lalu kita maksimalkan dorongan hawa nafsu itu ke arah yang benar dan positif. Ke hal-hal yang sesuai dengan ajaran Allah SWT dan dalam rangka meraih ridha-Nya.