REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Apnea tidur atau sleep apnea amerupakan gangguan tidur akibat pernapasan seseorang terhenti sementara selama beberapa kali saat sedang tidur. Kondisi ini dapat ditandai dengan mengorok saat tidur dan tetap merasa mengantuk setelah tidur lama.
Kebanyakan orang dengan apnea tidur yang tidak diobati dapat berisiko penyakit jantung. Para peneliti berasumsi bahwa itu sebabnya orang tersebut bisa memiliki masalah kognitif.
Tetapi sebuah studi kecil baru menemukan bahwa apnea tidur obstruktif itu sendiri memang merusak otak. Hal ini memberikan urgensi baru untuk mengenali dan mengobati gangguan tersebut.
Pria paruh baya sehat yang baru didiagnosis dengan apnea obstruktif menunjukkan fungsi mental yang lebih buruk di berbagai bidang seperti penilaian, kontrol impuls dan mengenali perasaan orang lain. Hal itu dibandingkan dengan pria tanpa kondisi tersebut, menurut penelitian yang diterbitkan Kamis di Frontiers in Sleep, dikutip dari NBC.
Apnea tidur obstruktif, bentuk yang paling umum, terjadi ketika otot tenggorokan mengendur dan saluran udara tersumbat. Jenis lainnya adalah apnea tidur sentral, yang terjadi ketika otak tidak mengirimkan sinyal yang tepat ke otot yang mengontrol pernapasan. Pada kedua tipe tersebut, orang secara singkat tersentak bangun karena kebutuhan akan oksigen.
Untuk studi baru, para peneliti merekrut 27 pria berusia 35 hingga 70 tahun yang tidak kelebihan berat badan dan yang memiliki diagnosis baru apnea tidur obstruktif ringan hingga berat. Tujuh pria dengan usia, berat badan, dan pendidikan yang sama dan tidak menderita apnea tidur juga disertakan.
Kedua kelompok mengambil serangkaian tes. Pria yang menderita apnea tidur obstruktif menunjukkan defisit kognitif yang meningkat seiring dengan meningkatnya keparahan. Diperkirakan sebanyak 26 persen orang dewasa di AS berusia 30 hingga 70 tahun menderita sleep apnea, menurut American Academy of Sleep Medicine.
Hal itu boleh jadi diremehkan, karena kondisinya banyak yang kurang terdiagnosis, menurut para ahli. Biasanya dianggap lebih memengaruhi pria daripada wanita.
Apnea tidur telah dikaitkan dengan ingatan dan masalah berpikir, tetapi studi baru menemukan bahwa kognisi dipengaruhi bahkan ketika pria tidak memiliki kondisi kesehatan yang mendasarinya. Studi menekankan penting untuk mengobatinya sejak dini.
Rekan penulis senior, Dr Ivana Rosenzweig, neuropsikiater sekaligus kepala Pusat Plastisitas Tidur dan Otak di Kings College London, mengatakan sebagian besar pasien tidak menyadari defisit kognitif mereka. Menurut Rosenzweig, para peserta tidak akan mencari bantuan "jika bukan karena mendengkur dan mengganggu pasangan mereka".
Cakupan studi baru ini masih kecil, sehingga Rosenzweig ingin para peneliti melakukan studi yang lebih besar yang mencakup wanita. Hingga mengalami menopause, wanita jauh lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami gangguan tidur. Namun, prevalensinya meningkat drastis seiring bertambahnya usia dan berat badan. "Ini hampir sama antara jenis kelamin (pria dan perempuan) setelah (perempuan mengalami) menopause," kata Rosenzweig.