REPUBLIKA.CO.ID, JAKATA -- Pengamat politi UI, Chusnul Mariyah, mempertanyakan koordinasi kebijakan pengaturan ruang publik untuk kepentingan umum sehingga surat pelarangan sholat Id di sebuah tempat di Pekalongan sampai di keluarkan. Ini karena ruang publik seperti alun-alun adalah milik publik. Semua warga boleh menggunakannya.
"Jangan sampai kekuasaan menganggap semua hal adalah milik pribadinya. Maka suka-suka membuat aturan. Jadi kalau selama ini orang Islam dianggap tidak toleran, lalu sekarang yang tidak toleran itu siapa?,'' kata Chusnul Mariyah, Sabtu (15/4/2023).
Chusnul mengatakan pihak yang berkuasa harus bisa membedakan mana milik pribadi dan mana milik publik. Ini karena pihak yang kini berkuasa atau menjadi pejabat publik dipilih oleh rakyat. Maka melayani rakyat menjadi wajib.''Ruang publik seperti alun-alun adalah milik publik. Semua warga boleh menggunakannya."
Menurut Chusnul, selama ini untuk melaksanakan sholat Id semua pihak pasti sudah paham.''Semua sudah tahu ada kemungkinan bisa lebaran beda hari. Selalu misalnya, warga Muhammadiyah lebih dulu Id karena menggunakan metode hisab, wujudul hisab. Apakah tidak rukyah, tetap diselenggarakan rukyah juga,'' ujarnya.
''Selain itu semua paham bila warga Muhammadiyah menyelenggarakan sholat Id di lapangan, sementara NU di masjid. Kalau tempat itu milik publik, maka rakyat yang kebetulan warga Muhammadiyah berhak untuk menggunakannya untuk kepentingan ibadah. Ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi bukannya melarang,'' katanya.
Warga Muhammadiyah, lanjut Chusnul, posisinya berada pada bukan minta izin seharusnya. Tapi hanya memberitahukan saja.''Penggunaan lapangan untuk demonstrasi saja boleh, masak sholat Id yang pastinya lebih adem dan penuh keberkahan Allah Swt dilarang. Ini ada apa sesungguhnya? Apa sesungguhnya yang ditakutkan?,'' tegas Chusnul Mariyah.