Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) menghadiri agenda “Launch of the Regional Assessment Report on the SSF Guidelines’ Assessment in Asia and the Pacific” yang telah diselenggarakan pada 6 April 2023 di Sri Lanka. Apa rekomendaasi pertemuan itu?
Rekomendasi yang dirumuskan dalam pertemuan tersebut sejalan dengan desakan KIARA dan PPNI kepada pemerintah Indonesia. “Pertama, negara harus memberikan pengakuan customary right nelayan tradisional dan perempuan nelayan,” jelas Sekjen Kiara Susan Herawati dalam rilisnya, Jumat (14/3/2023).
“Kedua, memberikan pengakuan identitas perempuan nelayan dalam rantai produksi perikanan,” tambah Masnuah, sekjen PPNI. Ketiga, negara merupakan aktor utama yang dapat memberikan perlindungan dan pemberdayaan serta menjamin ruang produksi nelayan tradisional dan perempuan nelayan tradisional. Salah satu caranya adalah pemenuhan BBM bersubsidi serta asuransi perlindungan nelayan. “Keempat, negara harus memastikan hak konstitusi nelayan tradisional dan perempuan nelayan!” lanjut Masnuah.
Susan menjelaskan, pada 2014, dalam sidang Dewan FAO ke-149 disahkan petunjuk sukarela tentang perlindungan perikanan skala kecil dengan judul Voluntary Guidelines for Securing Sustainable Small-scale Fisheries in the Context of Food Security and Poverty Eradication (SSF Guidelines/Pedoman Perikanan Skala Kecil). Pedoman tersebut bertujuan untuk menjamin keberlanjutan, ketahanan pangan, dan pengentasan kemiskinan perikanan skala kecil.
Pedoman tersebut menegaskan betapa perikanan skala kecil memegang peran penting dalam rantai produksi perikanan dunia. Di Indonesia, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2016. Semangat UU ini sejalan dengan Pedoman Perikanan Skala Kecil dari FAO, untuk melindungi dan memberdayakan perikanan skala kecil.
Tapi, sejak Sembilan tahun sejak disahkan, Pedoman Perikanan Skala Kecil belum berdampak signifikan terhadap perlindungan akan keberlanjutan dan kesejahteraan perikanan skala kecil di Indonesia. Perlindungan dan pemberdayaan perikanan skala kecil di Indonesia jalan di tempat.
Menanggapi hal tersebut, Kiara dan PPNI menyatakan, seharusnya perikanan skala kecil diberi peran yang sangat penting dalam rantai produksi perikanan tangkap di Indonesia. Ia dapat menyumbang kebutuhan protein bangsa dari sektor pangan laut. “Menjelang sembilan tahun pengesahan Pedoman Perikanan Skala Kecil, Kiara dan PPNI melihat bahwa terjadinya stagnasi perlindungan akan keberlanjutan dan kesejahteraan nelayan skala kecil, bahkan mengalami penurunan kuantitas nelayan,” kata Susan.
Dari tahun 2009 hingga 2019, ada penurunan jumlah nelayan mencapai 151.108 jiwa. “Ini menunjukkan bahwa di negara kepulauan, Pemerintah masih gagap dan tidak serius dalam melindungi keberlanjutan dan kesejahteraan nelayan,” kata Susan.
Kiara dan PPNI mencatat, hingga 2023, terdapat tiga klasifikasi utama permasalahan serius yang dihadapi oleh perikanan skala kecil. Pertama, permasalahan sosial ekonomi politik. Lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja yang kemudian hari ini menjadi Perppu Cipta Kerja atau Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 menandakan permasalahan perikanan skala kecil masih sama, bahkan cenderung lebih berat. Hal tersebut terjadi karena pemerintah menghapus definisi skala ukuran kapal (tonase kapal) dalam kategori nelayan kecil.
“Kiara melihat bahwa secara sistematis dan legal formil, pemerintah mendegradasi defenisi nelayan kecil yang akan berdampak terhadap semakin rentannya posisi nelayan kecil/tradisional dalam rantai produksi perikanan,” kata Susan.
Hal itulah yang menjadi salah satu alasan Kiara menolak undangan dari KKP dalam membahas isu SSF Guidelines, karena posisi KKP hari ini yang bertolak belakang dengan pedoman perikanan skala kecil dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya dan Petambak Garam itu sendiri. “Bahkan hingga saat ini belum ada pengakuan negara atas peran perempuan nelayan sebagai aktor penting dalam rantai produksi perikanan,” tegas Susan.
Kedua, permasalahan yang bersumber dari alam. Hal ini dapat dilihat dari meningkatkan bencana alam yang meningkatkan tingginya kerentanan perikanan skala kecil, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Krisis iklim yang tengah terjadi saat ini dapat dilihat dari intensitas banjir rob yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau kecil.
Masnuah yang erat berhadapan dengan kasus banjir rob mengatakan, “Permasalahannya adalah pemerintah saat ini melakukan praktik solusi palsu untuk menjawab isu krisis iklim seperti ekonomi biru, konservasi yang mengusir masyarakat lokal dari ruangnya, pembangunan hard infrastructure seperti giant sea wall untuk mengatasi banjir rob. Setelah dicermati lebih jauh, ternyata hal tersebut adalah kedok untuk melancarkan investasi.”
Ketiga, permasalahan kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia (secara langsung maupun tidak langsung). Permasalahan ini disebabkan oleh buruknya tata kelola sumber daya kelautan dan perkanan yang justru meminggirkan nelayan kecil/tradisional sebagai pemegang hak utama dari ruang hidupnya.
Kiara dan PPNI memotret praktik kerusakan alam dan perampasan ruang terjadi dari Indonesia barat hingga timur dalam 10 tahun terakhir. Alih fungsi hutan mangrove menjadi pertambakan telah terjadi di Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur. Penimbunan pantai dilakukan di Aceh, di Kepulauan Seribu, di Teluk Jakarta dan Pesisir Minanga. Pertambangan muncul di perairan Pulau Rupat, Bangka, Pulau Wawonii, Pulau Sangihe, Pulau Obi. Pariwisata oleh swasta ada di Pulau Sangiang dan Pulau Pari. Perusakan ruang kelola tradisional nelayan oleh nelayan cantrang dibiarkan terjadi di Sumatra Utara dan Kepulauan Masalembu
Kiara dan PPNI melihat implementasi Panduan Perikanan Skala Kecil di Indonesia masih belum ada progres yang berarti. Hal itu juga telah disampaikan dalam agenda “Launch of the Regional Assessment Report on the SSF Guidelines’ Assessment in Asia and the Pacific” di Sri Lanka.
Priyantono Oemar