REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian masyarakat awam melihat antibiotik sebagai 'solusi' untuk beragam penyakit karena obat ini kerap diresepkan dokter. Anggapan yang kurang tepat ini membuat mereka berani swamedikasi dengan membeli antibiotik tanpa resep saat merasakan sakit. Padahal, cara ini tidak diperkenankan. Soalnya, tak semua penyakit itu dapat diobati dengan antibiotik.
Salah satu penyakit yang mendorong masyarakat swamedikasi antibiotik adalah selesma atau pilek. Gejala-gejala pilek terkadang terasa sangat mengganggu dan bisa berlangsung lebih dari tiga hari. Saat pilek tak kunjung sembuh inilah, mereka berinisiatif swamedikasi antibiotik.
Para pakar dari Global Antibiotic Research and Development Partnership mengingatkan masyarakat soal antibiotik dengan swamedikasi ini. Ada sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan untuk mengetahui kapan sebenarnya seseorang yang sakit membutuhkan antibiotik. Berikut ini adalah ketiga hal tersebut seperti dilansir Martha Stewart.
1. Sebagian besar kasus pilek dapat membaik sendirinya dalam beberapa hari.
Syaratnya dirawat dengan baik. Caranya adalah dengan minum banyak cairan, asupan tinggi gizi dari buah dan sayur, serta tidur yang cukup. Namun, banyak orang ke dokter untuk mencari penyelesaian cepat. Jadi, mereka meminta antibiotik.
2. Antibiotik seharusnya hanya digunakan bila memang dibutuhkan.
Semakin banyak antibiotik digunakan, semakin besar kemungkinan antibiotik menjadi tidak efektif untuk melawan bakteri yang seharusnya bisa dilawan.
3. Antibiotik harus sesuai dengan patogen.
Penyakit yang disebabkan beragam patogen, memunculkan keluhan yang serupa saat menginfeksi seperti memicu keluhan batuk, hidung meler, hidung tersumbat atau demam yang serupa.
Jadi, harus diketahui patogen sebenarnya untuk diobati dengan tepat. Dokter memiliki kemampuan untuk menentukan apakah bakteri atau virus yang menjadi akar masalah kondisi Anda.
4. Patuhi saran dokter.
Bila dokter memutuskan belum meresepkan antibiotik, pasien tak perlu berpikir bahwa dokter mengabaikan mereka.