REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak ratusan tahun lalu sarang burung walet diklaim memiliki banyak khasiat. Di bulan Ramadhan ini sarang burung walet juga sering dikonsumsi saat sahur dan berbuka puasa untuk menjaga kesehatan.
Mengutip Jurnal Halal LPPOM MUI, sarang burung walet berasal dari air liur burung. Maka, tidak jarang muncul pertanyaan mengenai kehalalan produk tersebut.
Direktur Utama LPPOM MUI Muti Arintawati menyatakan, sarang burung walet pada dasarnya halal dikonsumsi. Namun, mengingat di dalam sarang burung walet tersebut biasanya tercampur dengan kotoran burung, maka sebelum dikonsumsi sarang burung walet tersebut harus dibersihkan terlebih dahulu.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa terhadap kehalalan sarang burung walet ini. Di dalam Fatwa MUI Nomor 02 Tahun 2012 disebutkan sarang burung walet berasal dari cairan yang keluar bersama air liur yang telah mengering, dan tidak jarang bercampur dengan kotoran.
Pada kasus yang seperti ini, muncul pertanyaan mengenai hukum mengonsumsi sarang burung walet dan membudidayakannya. Para ulama sepakat sarang burung walet adalah sarang yang dibuat oleh burung walet, berasal dari zat yang tersimpan di tembolok burung yang bercampur dengan zat yang berasal dari kelenjar ludah (air liur) yang telah mengering.
Sarang burung walet adalah suci dan halal. Dalam hal sarang burung walet bercampur dengan atau terkena barang najis (seperti kotorannya), harus disucikan secara syar’i (tathhir syar’i) sebelum dikonsumsi. Itu juga termasuk membersihkan kontaminasi najis dari kotoran burung walet sendiri.
Hal lain yang harus diwaspadai adalah adanya pencampuran sarang burung walet yang menggunakan gelatin babi, putih telur, maupun bagian tertentu dari ikan laut. Tujuannya untuk menambah bobot timbangan sarang burung walet ketika hendak dijual, mengingat harganya yang sangat tinggi.
Pencampuran gelatin babi pada sarang burung walet tentu harus dicermati. Sebab, mengonsumsi sarang burung walet yang tercampur dengan gelatin babi tentu haram hukumnya.