Ahad 16 Apr 2023 19:47 WIB

B2W: Perjalanan Panjang Jadikan Jakarta Kota Laik Huni Hancur dalam Semalam oleh Pj Heru

Padahal, pengembangan jalur sepeda di Jakarta paling progresif di dunia saat ini.

Rep: Ali Mansur, Antara/ Red: Andri Saubani
Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono. Heru tengah menjadi sorotan seusai viral dibongkarnya jalur pedestrian dan jalur sepeda di Simpang Jalan Wijaya I-Jalan Wolter Monginsidi-Jalan Suryo (lampu merah Santa), Jakarta Selatan. (ilustrasi)
Foto: Republika/Haura Hafizhah
Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono. Heru tengah menjadi sorotan seusai viral dibongkarnya jalur pedestrian dan jalur sepeda di Simpang Jalan Wijaya I-Jalan Wolter Monginsidi-Jalan Suryo (lampu merah Santa), Jakarta Selatan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kebijakan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono membongkar jalur pedestrian dan jalur sepeda yang dibangun pada era Gubernur Anies Rasyid Baswedan di sekitar Pasar Santa, Jakarta Selatan menuai kecaman. Akibat kebijakan Pj Gubernur tersebut, membuat perjalanan panjang mimpi ibu kota DKI Jakarta menjadi kota yang layak huni, ramah lingkungan hancur dalam satu malam.

“Perjalanan panjang menjadikan Ibu Kota DKI Jakarta menjadi kota laik huni, accessible dan rendah emisi harus hancur dalam satu malam akibat kebijakan Pj Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono yang menghapus lajur sepeda dan fasilitas pejalan kaki di perempatan Jalan Santa,” keluh ketua Umum Bike To Work Indonesia, Fahmi Saimima, dalam keterangannya kepada Republika, Ahad (16/4/2023).

Baca Juga

Menurut Fahmi Saimima, pembangunan kota modern berorientasi pada penciptaan suasana kota yang laik huni bagi warganya. Hal itu ditandai oleh udara segar, ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH), akses seluruh wilayah kota tanpa diskriminasi bagi berbagai kelompok terutama kelompok rentan. Termasuk bagi pejalan kaki dan jalur sepeda, opsi sarana mobilitas berorientasi pada rendah emisi, efisiensi energi dan ruang. 

“Pengembangan lajur sepeda di Jakarta adalah yang paling progresif di dunia saat ini, jadi seharusnya dipertahankan dan diperluas secara massif di seluruh wilayah kota,” ujar tegas Fahmi Saimima.

Fahmi Saimina mengatakan, apa pun yang dilakukan DKI Jakarta akan menjadi benchmark bagi kota-kota lain tidak hanya di Indonesia. Namun, cara mengatasi kemacetan di Jakarta dengan menghapus jalur sepeda dan jalur pedestrian adalah melawan kecenderungan di kota-kota di dunia yang justru mulai memprioritaskan manusia, bukan kendaraan bermotor.

“Lajur sepeda selain sebagai penanda kemajuan peradaban kota, juga sangat efektif mengendalikan kemacetan dan emisi kendaraan”, tegas Fahmi Saimima.

Lebih lanjut, Fahmi Saimima menilai kebijakan membangun fasilitas angkutan umum masal, BRT Trans Jakarta dengan jaringan Jaklingko dipadu dengan kebijakan Non Motorized Transport (NMT) yaitu fasilitas pejalan kaki dan lajur sepeda adalah cara tepat dan efektif. Tentu saja dalam rangka menekan emisi sekaligus mengendalikan kemacetan yang mendera DKI Jakarta selama berpuluh tahun.  

Padahal, sambung Fahmi, kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang telah dilaksanakan dalam dua dekade cukup membuahkan hasil. Karena terbukti emisi gas rumah kaca atau GRK dan emisi pencemaran udara dapat ditekan dengan angka konstan sekalipun terjadi peningkatan akvitias industri, transportasi dan proses pembangunan. Karena pola pandang sebuah kota, kata dia, seharusnya layak untuk hidup manusia, bukan layak bagi mesin.

“Jadi kalau yang kejadian hari ini, di mana kita protes soal dibongkarnya jalur sepeda untuk kepentingan jalan dengan dalih mengurangi kemacetan, itu adalah sebuah kemunduran drastis dari pola pembangunan Jakarta yang diciptakan oleh kepemimpinan sebelumnya,” tutur Fahmi Saimima.

Sebenarnya pengakuan dari Fahmi Saimima, pihaknya sudah dua kali memberikan teguran kepada Pj Gubernur DKI Jakarta tersebut. Pertama saat tidak menganggarkan terhadap pengembangan jalur sepeda yang ditargetkan 500 km samapai tahun 2024, bahkan anggaranya sampai dinolkan. Kedua mengenai kejadian yang mengganggu stabilitas jalur pedestrian dengan dalih untuk mengatasi kemacetan. 

“Baru saja meneliti bahkan, bahwa ada aturan dalam UU itu bahwasanya aset yang di bawah lima tahun itu dilarang perbaikan, pembongkaran, dan ini artinya menciderai tujuan pembangunan yang sudah disepakati bersama,” tutup Fahmi Saimima.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement