Ahad 16 Apr 2023 20:30 WIB

Pariwisata Halal Ditolak Daerah, Pakar: Kurang Melek Literasi

Pariwisata halal merupakan adalah bagian dari pariwisata yang ramah terhadap muslim.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Ilustrasi Wisata Halal. (Republika/Mardiah)
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Wisata Halal. (Republika/Mardiah)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pariwisata halal merupakan adalah bagian dari pariwisata yang ramah terhadap muslim. Misalnya, hotel-hotel yang ada di tempat wisata tersebut tidak menyajikan alkohol, serta memiliki kolam renang dan fasilitas spa terpisah untuk pria dan wanita. 

Namun, pariwisata halal masih banyak disalahpahami, segingga banyak daerah Indonesia yang menolak pariwisata halal. Pakar ekonomi dan pariwisata syariah dari Universitas Al Azhar Indonesia, M Abdul Ghoni menilai, pariwisata halal banyak ditolak di daerah karena masyarakat kurang melek literasi tentang pariwisata halal. 

Baca Juga

"Mungkin melek literasi tentang pariwisata halal itu belum nyampek ke orang. Maka, solusinya adalah pendektaan kita harus merangkul. Artinya kita memberikan suatu literasi, suatau paparan dan suatu pengetahuan kepada mereka. Karena kebanyakan yang menolak itu karena belum mengetahui," ujar Ghoni saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (16/4/2023). 

Menurut dia, sebagian masyarakat masih menganggap bahwa pariwisata halal itu adalah sesuatu yang harus terlampau halal, yang di dalamnya juga tidak terjadi harmonisasi antara agama dan budaya.

"Padahal, kalau kita lihat di Islam sendiri bahwa kita harus ada yang namanya keseimbangan antara budaya dan hukum. Jadi mungkin pendekatan-pendekatan seperti itu. Artinya pendekatan tentang keseimbangan budaya dengan agama itu harus sejajar dan sebanding," ucap Ghoni. 

"Nah selama ini belum ada pendekatan begitu sehingga ada konotasi bahwa ini berasal dari halal semua, padahal tidak. Karena sebenarnya agama menjaga karifan budaya," imbuhanya. 

Karena itu, menurut dia, semua pihak baik pemerintah, totoh masyarakat, maupun tokoh agama harus melakukan literasi kepada warganya tentang pariwasata halal. Dengan bekerjasama dalam melakukan literasi, kata dia, maka ke depannya tidak akan ada lagi daerah yang menolak pariwisata halal. 

"Jadi memang ini kerja bareng tidak bisa persial, itu kalau menurut saya. Jadi lebih baik kita nengedepankan subtansi daripada kita mengedepankan formalitas," ucap Ghoni. 

Sebenarnya, tambah dia, pembahasan tentang pariwisata halal juga berkaitan dengan pembahasan nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia yang sesuai dengan agama. Karena, kata dia, sebenarnya salah satu sumber daripada hukum itu sendiri adalah norma agama. 

"Jadi sebenarnya kalau menurut saya kita harus mengedepankan subtansi daripada form atau bentuk. Karena kenapa? ketika kita mengedelankan form atau hanya mengedepankan labelisasi itu akan menajdi masalah bagi kita semua. Karena subatansi daripada halal sendiri kan sesuatu yang semua diperbolehkan asal tidak ada larangan," jelas Ghoni.

Sebelumnya, Wakil Presiden (Wapres), KH Ma'ruf Amin meluruskan kembali kesalahpahaman sebagian orang tentang pariwisata halal. Kiai Ma'ruf menegaskan, pariwisata halal maupun pariwisata muslim bukan berarti tempat wisatanya disyariahkan atau dihalalkan.

"Ada beberapa kesalahpahaman di beberapa tempat tentang pariwisata Muslim atau pariwisata halal, pariwisata syariah, sepertinya dimaknai bahwa wisatanya akan dihalalkan, akan disyariahkan, sehingga banyak misalnya daerah menolak," ujar Ma'ruf saat mengukuhkan Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) Provinsi Gorontalo di Jakarta, Jumat (14/4/2023).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement