REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA -- Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) saling mengeklaim jumlah korban jiwa dalam aksi penyerangan dan kontak senjata yang terjadi di Pos Militer Mugi-Mam, Distrik Yal-Nduga, Provinsi Papua Pegunungan.
Kelompok sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengeklaim telah menewaskan sedikitnya sembilan prajurit TNI AS dalam serangan tersebut. Sementara Mabes TNI di Jakarta dalam pernyataan resmi, Ahad (16/4/2023), menyampaikan hanya satu prajuritnya yang gugur dalam serangan pada Sabtu (15/4/2023) sore WIB itu.
Berbeda lagi dalam kronologi yang dikirimkan untuk Panglima Divisi Infanteri (Pangdivif) I/Kostrad, dilaporkan enam personel TNI AD gugur. Mereka berasal dari Satuan Tugas (Satgas) Yonif Raider 321/Galuh Taruna Kostrad dan personel Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yang dilaporkan menjadi korban.
Berapa pun prajurit yang mati dalam kontak senjata itu tak sebanding dengan tujuan utama penerjunan personel perang di wilayah tersebut. TNI dan Polri mengerahkan hampir seribu personel dari satuan elite masing-masing ke wilayah Nduga dalam Operasi Paro. Misinya satu: membebaskan Kapten Philips Mark Marthens.
Pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru itu sejak 7 Februari 2023 masih dalam penyanderaan kelompok separatisme prokemerdekaan Papua. Kelompok yang versi TNI disebut sebagai Kelompok Separatisme Terorisme Papua (KSTP) dan versi Polri disebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
KSTP dan KKB adalah sayap bersenjata TPNPB-OPM yang ingin melepas diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika sembilan prajurit TNI yang tewas dalam kontak senjata di Pos Mugi versi TPNPB-OPM itu benar, peristiwa penyerangan pada Sabtu tersebut patut dicatat sebagai aksi penyerbuan kelompok pemberontak paling besar.
Aksi itu juga paling mematikan sejak TNI dan Polri melakukan ragam upaya yang disebut sebagai smart approach untuk misi membebaskan Kapten Philips dari penyanderaan. Pun jika Mabes TNI yang benar, dengan mengatakan hanya satu prajuritnya yang gugur dalam kontak senjata itu, tetap saja, hilangnya satu nyawa serdadu tetap tak sebanding dengan misi membebaskan satu pilot berkebangsaan asing tersebut.
Apalagi jika melihat rentetan aksi-aksi yang juga memakan korban jiwa dari pihak TNI, maupun Polri dalam penyerangan yang dilakukan kelompok separatisme bersenjata di kota-kota lainnya di Papua pascapembakaran Susi Air di Lapangan Paro. Dalam catatan Republika.co.id, sejak penyerangan di Lapangan Paro terjadi pada Selasa (7/2/2023), belasan rangkaian peristiwa susulan, dan penembakan yang dilaporkan dilakukan oleh KSTP atau KKB.
Rangkaian serangan itu menewaskan sedikitnya empat sampai enam personel TNI maupun Polri. Di Distrik Ilu, Kabupaten Puncak Jaya pada Sabtu (25/3/2023) kelompok separatisme menembak mati dua prajurit TNI dan Polri yang sedang berjaga kegiatan sholat Tarawih di Masjid al-Amaliah Ilu.
Pada Rabu (1/3/2023) satu personel Kodim 1714 Yahukimo, pun hilang nyawa saat kontak senjata dengan separatisme di Km 4 Paradiso di Distrik Dekai. Dalam penyerangan tersebut bahkan Komandan Kodim juga terkena tembakan. Pada Senin (3/4/2023) satu personel TNI juga gugur di Distrik Yal di Nduga dalam kontak senjata dengan kelompok separatisme itu.
Catatan prajurit yang gugur tersebut, belum termasuk aksi-aksi penyerangan kelompok separatisme di sejumlah bandara, dan menyasar armada-armada penerbangan-penerbangan sipil. Pun belum ditambah jumlah korban jiwa sipil.
Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom dalam keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Ahad (16/4/2023), pasukannya tak cuma menargetkan personel TNI maupun Polri. Kata dia dalam setiap aksi penyerangan dan pembunuhan prajurit Indonesia juga disertai dengan perampasan senjata.
Penyerangan Sabtu (15/4/2023) di Pos Mugi yang dipimpin oleh Perek Jelas Kogeya, kelompok separatisme juga berhasil merampas sembilan pucuk senjata tempur milik TNI. Sebby pun menegaskan, wilayah Nduga-Derakma di bawah penguasaan Egianus Kogeya tetap akan melancarkan serangan susulan terhadap pos-pos militer dan kepolisian di Tanah Papua.
"Panglima Komando Daerah Pertahanan III Ndugama-Derakma, Bridgen Egianus Kogeya dan pasukannya bertanggungjawab atas serangan dan perang terus berlanjut," kata Sebby.
Balas dendam dan pengabaian tuntutan
Sebby menjelaskan, serangan yang dilakukan kelompok bersenjatanya di Pos Mugi itu sebetulnya atas reaksi. Menurut dia, menyangkut pembebasan Pilot Susi Air sebetulnya TPNPB-OPM sudah menawarkan ke pemerintah Indonesia untuk duduk di meja negosiasi damai dan jalur diplomasi.
Kata Sebby, TPNPB-OPM juga sudah berkirim surat ke pemerintah Selandia Baru agar membuka jalur diplomasi pemulangan Kapten Philips melalui TNI-Polri. Tawaran tersebut disampaikan Sebby dengan tuntutan. Yaitu meminta pemerintah Indonesia agar menghentikan operasi militer dan perang di wilayah Nduga di Papua Pegunungan.
"TPNPB-OPM sudah ajukan negosiasi damai dengan pemerintah Selandia Baru dan Indonesia di Jakarta (untuk pembebasan Kapten Philips). Namun sudah dua bulan pemerintah Indonesia, dan Selandia Baru tidak mengindahkan tuntutan kami. Dan pemerintah Indonesia melalui militer (TNI) dan Polisi Indonesia sudah melakukan operasi militer yang masif di Ndugama," ujar Sebby.
Dalam operasi militer tersebut, Sebby menuding TNI maupun Polri melakukan pembantaian dan pembunuhan terhadap warga sipil di Nduga. Pun juga melakukan pembunuhan terhadap dua anggota TPNPB-OPM pada 23 Maret 2023. "Karena itu pasukan TPNPB-OPM di bawah komando Panglima Egianus Kogeya melakukan pembalasannya," ujar Sebby.
Tuntutan TPNPB-OPM agar TNI dan Polri menyetop operasi militer dan perang di wilayah Nduga untuk misi pembebasan Kapten Philips lebih lunak. Pasalnya setelah Egianus Kogeya dan gerombolannya melakukan penyerangan dan penyanderaan di Lapangan Paro Februari 2023 lalu TPNPB-OPM menegaskan tak akan membebaskan Kapten Philips sampai pemerintah Indonesia angkat kaki dan mengakui kemerdekaan Bumi Papua.
TPNPB-OPM juga menuntut pemerintah Indonesia agar menutup semua jalur penerbangan di wilayah Papua Pegunungan dan di kota-kota lain yang menjadi basis para separatisme.
Akan tetapi, kata Sebby, pemerintah Indonesia menolak semua tuntutan dengan menutup semua jalur negosiasi, maupun diplomasi damai yang ditawarkan sebelumnya.
Karena itu, Sebby melanjutkan, setelah penyerangan di Pos Mugi TPNPB-OPM tak lagi bersedia memberi tawaran langsung ke pemerintah Indonesia untuk pembebasan Kapten Philips. TPNPB-OPM, Sebby menegaskan, mengubah tuntutan pembicaraan dengan pemerintah Indonesia dengan mengharuskan adanya keterlibatan pihak ketiga.
Yang dimaksud pihak ketiga adalah badan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk negosiasi pemulangan Kapten Philips. "Oleh karena itu PBB dan pemerintah Selandia Baru mempunya kewajiban untuk desak pemerintah Indonesia untuk hentikan operasi militer, namun pemerintah Indonesia bersedia bernegosiasi dengan Pimpinan TPNPB dibawah mediasi pihak ketiga yang netral, yaitu badan organisasi PBB," kata Sebby.