REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Siapa yang ingin mengalami kecelakaan kerja. Pasti tidak ada. Semu orang ingin bekerja secara normal dan lancer. Kemudian mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Juga untuk aktualisasi diri bersama orang-orang yang dicintai.
Namun, harus diketahui, kecelakaan kerja tak pernah direncanakan. Kalau sudah waktunya terjadi, kecelakaan kerja tak bisa dielakkan. Dia akan dialami siapa pun tanpa pandang bulu.
Hal itulah yang dialami pegawai tata usaha sebuah sekolah di Tangerang Selatan, Shinta (40 tahunan). Dirinya sama sekali tak menyangka akan mengalami risiko di tempat kerja. Pada pagi hari, dia berangkat dari rumah menuju tempat kerja. Normal saja. Tak ada kejanggalan. Semua berjalan seperti biasa.
Tiba di sekolah, dia beraktivitas seperti sedia kala, membuat, memeriksa, dan merapikan dokumen. Kemudian dia naik dan turun tangga di sekolah tempat bekerja. Pada saat itulah dia tak menyangka akan terjatuh, beberapa waktu lalu.
Peristiwa ini mengakibatkan kakinya bengkak. Dia kemudian memeriksakan kakinya ke dokter. Namun beberapa hari kemudian, kakinya tak kunjung sembuh. Dia memutuskan untuk diperiksa di Rumah Sakit Pamulang. Hasil pemeriksaan mengejutkan dirinya. Ada otot tendon yang sobek sehingga dirinya harus dioperasi. Biayanya tidak murah. Mencapai Rp 133 juta.
Namun yang menjadi kesyukuran Shinta, semua biaya tersebut, termasuk proses medis setelah itu, sepenuhnya tidak ditanggung dirinya. Biaya pengobatan dari awal sampai akhir menjadi tanggung jawab Badan Pengelola Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek).
Hal itu membuatnya lega. Keuangan keluarga tak terganggu. Penghasilan rutin setiap bulan tetap ada, yang berasal dari santunan sementara tak bekerja, yang merupakan manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja Jamsostek.
Shinta kini sudah selesai menjalani operasi. Tapi masih rutin menjalani rawat jalan untuk pemulihan. Dia berharap dapat segera sembuh sehingga kembali beraktivitas seperti sedia kala.
Kepala Kantor BPJamsostek Cilandak M Izaddin mengimbau setiap pekerja mendaftarkan diri mengikuti program perlindungan BPJS Ketenagakerjaan. Dia menjelaskan, kasus Shinta menjadi contoh risiko pekerjaan bisa terjadi di mana saja. Tidak hanya di jalan raya atau tempat-tempat yang berisiko tinggi. “Ibu Shinta dan suami adalah contoh pekerja yang sadar jaminan sosial ketenagakerjaa, jelas Izzan.
Kepesertaan program perlindungan ketenagakerjaan tak hanya untuk pekerja formal atau penerima upah. Pekerja informal seperti pedagang kaki lima, tukang ojek, kurir, sampai pemuka agama pun, diharuskan mengikuti program tersebut.
Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan didasarkan pada tiga aturan perundang-undangan berikut ini. Pertama, Undang - Undang RI Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja; kedua, UU RI No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; dan ketiga, UU RI NO. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
“Kami melaksanakan amanat pemerintah sebagaimana tertuang dalam aturan tersebut. Dan aturan tadi adalah untuk kemaslahatan tenaga kerja untuk dilindungi jaminan sosial dan terhindar dari ancaman kemiskinan akibat risiko kerja,” kata Izaddin.