REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta baru-baru ini meninjau rekayasa lalu lintas (lalin) di kawasan Santa, tepatnya di Jalan Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan, sebagai upaya untuk mengatasi kemacetan. Di antara upaya melancarkan arus kendaraan di titik tersebut adalah dengan membongkar trotoar di tengah pertigaan menjadi jalan raya.
Namun, kebijakan itu justru bak simalakama. Pengamatan Republika.co.id di lokasi, Senin (17/4/2023) sekira pukul 09.00 WIB, Jalan Wolter Monginsidi dan jalan sekitarnya malah mengalami kemacetan panjang. Hiruk-pikuk kendaraan dan ocehan para pengendara di jalan tersebut mencuat.
Di tengah pertigaan kawasan Santa terlihat jalan raya yang masih baru. Ya, jalan yang aspalnya masih berwarna hitam ini sebelumnya merupakan trotoar yang dibongkar, kini dilintasi kendaraan yang bergerak lamban ke arah barat atau arah Tendean. Meski sudah mengorbankan trotoar tersebut menjadi jalan raya, ternyata trotoar yang ada di pinggir Jalan Wolter Monginsidi turut terimbas.
Bukan pembongkaran, melainkan 'dimakan' oleh pengendara roda dua. Para pengendara sepeda motot tampak nekad menaiki trotoar sepanjang sekitar satu kilometer (km) dan turut melintasi guiding block atau jalur penunjuk jalan bagi penyandang tunanetra.
Bahkan, para pengendara sepeda motor itu beberapa kali membunyikan klason sepeda motornya kepada pejalan kaki yang sedang berjalan di trotoar untuk minggir. Apa pasal? Hal itu karena kemacetan semakin menggila, sehingga banyak pengendara tidak sabar memilih naik ke jalur pedestrian.
Dinda (25 tahun), seorang pedestrian yang tengah melintas trotoar di Jalan Wolter Monginsidi mengaku, kesal dengan kondisi jalanan di titik tersebut. Sudah sekitar satu pekan ini, dia yang biasanya menggunakan sepeda motor, terpaksa harus berjalan kaki ke tempat kerjanya karena enggan menghadapi kemacetan.
"Saya biasanya pakai motor. Tadi tuh sama kakak saya, saya minta turun di ujung jalan, lalu berjalan ke tempat kerja. Lumayan jauh, ini karena macet mending ya sudah lah saya jalan kaki saja. Ini hari kedelapan saya jalan begini sejak ada rekayasa lalu lintas itu," kata Dinda kepada Republika.co.id di lokasi, Senin.
Dinda mengatakan, rekayasa lalin yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tidak mengatasi kemacetan sama sekali. Malah sebaliknya, semakin menciptakan kemacetan yang parah. "Saya merasa, aduh enggak efisien ya," keluh Dinda.
Menurut analisisnya, di antara penyebab kemacetan yang parah adalah adanya penempatan beton di tengah-tengah jalan Wolter Monginsidi. Jika tidak ada beton pemisah tersebut, sambung dia, pengendara bisa lebih lincah berpindah ke jalur kiri, meskipun sama-sama satu arah.
Sementara itu, disinggung tentang trotoar yang dibongkar jadi jalan raya di persimpangan Jalan Wolter Monginsidi, Dinda tidak melihat manfaatnya untuk membantu mengatasi kemacetan. Sebaliknya, hak pejalan kaki justru terminimalisasi.
Dinda terlihat pasrah dengan keadaan yang ada karena mengaku tidak bisa apa-apa, kecuali mengalah. Termasuk, memberikan haknya sebagai pedestrian kepada para pengendara sepeda motor yang bisa saja menabraknya saat berjalan di trotoar.
"Gimana ya, ya kita sama-sama ngertiin. Dia (para pengendara roda dua) kan juga berebut jalan. Dia juga emosi kan sama kondisi kemacetan," ujar Dinda.
Terpantau hingga menjelang siang, para pengendara sepeda motor masih terus melintasi badan jalur pedestrian. Tak ada petugas yang berjaga dan menegur mereka yang melintasi trotoar.
Sebelumnya, Pemprov DKI bersama Polda Metro Jaya melakukan rekayasa lalin di kawasan pertigaan lampu merah Santa, Jakarta Selatan. Dilakukan penutupan putar balik atau u-turn di Jalan Wolter Monginsidi menuju Tendean.
Dalam rekayasa lalin itu, trotoar yang ada di tengah pertigaan lampu merah Santa turut dikorbankan dengan cara dibongkar untuk menjadi jalan raya guna memfasilitasi kendaraan. Kebijakan itu merupakan bagian penutupan 32 u-turn di Jakarta yang dicanangkan Dishub DKI Jakarta untuk mengurangi kemacetan.