REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banjirnya impor ilegal Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dinilai menekan utilisasi industri di Tanah Air. Penekanan itu hingga titik cukup rendah dan menelan korban.
Terakhir, pada awal April lalu, PT Tuntex Garment bangkrut dan melakukan PHK sekitar 1.163 karyawan. Dewan Kehormatan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Jawa Barat Cecep Daryus mengatakan, Industri TPT nasional masih berada dalam masa kritis sejak akhir 2022 lalu, termasuk di Jawa Barat.
“Akhir tahun lalu, sudah banyak yang dirumahkan. Kalau kondisi seperti ini terus akan nambah lagi," tutur dia dalam keterangan resmi, Senin (17/4/2023).
Maka itu, ia meminta pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, agar tidak lepas tangan atas kejadian ini. Dia mengakui, memang kondisi pasar ekspor menjadi salah satu alasan.
Namun, menurut dia, pasar domestik Indonesia sangat besar dan harus dijaga. Dirinya mengingatkan peran industri TPT sebagai jaring pengaman sosial ekonomi bagi Indonesia.
“Kalau pemerintah lepas tangan terhadap masalah impor-impor ini, ekonomi kita lambat laun akan rontok” kata Cecep menegaskan.
Sebelumnya, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (Apsyfi) pun kembali meminta pemerintah agar serius memberantas impor tekstil illegal yang bertambah marak. Apalagi impor itu kini dilakukan secara terbuka.
Ketua Umum Apsyfi Redma Gita Wirawasta menyatakan, banjirnya barang tekstil impor semakin menekan kinerja industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) hingga rata-rata utilisasinya dari hulu ke hilir kini hanya di kisaran 50 persen. Berdasarkan hitungan Apsyfi, menurut dia, per tahunnya ada sekitar 300 hingga 400 ribu ton impor TPT illegal senilai Rp 35 triliun.