Rabu 19 Apr 2023 03:44 WIB

Beda Idul Fitri Muhammadiyah dan NU Garis Lucu

Sudah saatnya memang kita membaca dan menempatkan perbedaan ini dengan riang gembira.

Perbedaan Idul Fitri harus disikapi dengan dewasa. Ilustrasi Idul Fitri
Foto: MGIT03
Perbedaan Idul Fitri harus disikapi dengan dewasa. Ilustrasi Idul Fitri

Oleh : Nashih Nasrullah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Suatu saat almarhum KH Slamet Effendy Yusuf, tokoh Nahdlatul Ulama yang duduk sebagai salah satu pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI), pernah berlakar soal bagaimana menyikapi perbedaan Idul Fitri antara ketetapan Muhammadiyah, NU, dan pemerintah. Kelakarnya sederhana, “Bukannya malah enak ada ketupat segar dan lezat dua kali?”

Ada banyak aspek yang bisa kita sentuh, daripadi sekadar pendekatan fikih an sich ataupun dimensi politik yang diakui atau tidak, berada di balik munculnya perbedaan Idul Fitri di Indonesia. Jika kedua pendekatan tersebut ditempuh, ya ungkapan sepakat untuk tidak sepakat sudah tepat untuk jadi solusi, sembari kita memberikan pemahaman kepada umat, perbedaan tersebut sangat dibolehkan dan mempunyai acuannya dalam agama dan beragama.

Kita sudah banyak mengalami progress yang luar biasa dibandingkan dengan beberapa dekade lalu, menyikapi qunut atau tidak qunut. Bahwa ada satu dua tiga kasus yang muncul itu biasa, anggap saja itu dinamika biasa dalam hidup dan mustahil pula menyamakan isi kepala setiap manusa, ungkapan Arab tepat sekali menggambarkannya likulli ra’sun ra’yun.

Dalam selorohan almarhum KH Hasyim Muzadi, bahwa di era sekarang ini tidak perlu lagi memperdebatkan sholat subuh qunut atau tidak qunut. Bagi saya yang lahir dan dibesarkan dari Rahim NU dan pernah aktif sebagai pengurus di Lembaga Perguruan Tinggi NU (LPTNU), sekilas mendengar selorohan Abah (sapaan kami para wartawan terhadap beliau), ya agak sedikit reaktif. Apalagi background pesantren saya, adalah Pesantren Denanyar yang didirikan KH Bisri Syansuri, kental dengan corak fikihnya.

Tapi dalam perspektif yang lebih makro, kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara, selorohan itu pun membuat perut kaku, karena kata Abah, kader-kader NU dan Muhammadiyah kini sudah tidak pernah meributkan qunut sholat subuh, sebab tak sedikit dari mereka yang bolong-bolong sholat subuhnya. Kami pun tertawa lepas, begitu juga para hadirin yang datang.

Ada lagi sebuah kisah yang cukup populer dirawikan para aktivis, tentang candaan almarhum Gus Dur saat didapuk almarhum Soeharto untuk jadi imam sholat tarawih. Apa kata Gus Dur ke Pak Harto? “Mau versi Muhammadiyah, NU tulen, atau NU diskon?”

Pak Harto Heran, apa maksud Gus Dur. Gus Dur menjawab enteng. Versi Muhammadiyah 8 rakaat, NU tulen 20 rakaat, NU diskon cukup 8 rakaat juga. Pak Harto pun tertawa.   

Sudah saatnya memang kita membaca dan menempatkan perbedaan ini dengan riang gembira. Apalagi sebenarnya, bangunan fikih kita sejatinya memberikan ruang luas juga untuk kita berbeda. Di antara karakter fikih yang tak bisa ditanggalkan begitu saja adalah al-murunah, fleksibelitas. Karakter ini yang mendasari ragam pendapat fikih. Paling masyhur adalah munculnya qaul qadim (pendapat lama) Imam Syafii sewaktu masih berada di Irak dan qaul jadid (pendapat baru) beliau saat berdomisili di Mesir. Perubahan ini tidak bisa dibaca parsial sebagai inkonsistesi Imam Syafii, tetapi, justru menunjukkan kebesaran berfikih tokoh kelahiran Gaza, Palestina itu. Al-fatwa yataghayyar bi taghayyuri az-zaman wa al-makan..Ringkasnya, fatwa hukum fikih itu sah-sah saja berubah sesuai perkembangan zaman dan tempat.

Inilah mengapa, Ibnu al-Qayyim, menyebut kaidah ushul fiqih ini  sangatlah penting sebab memberikan manfaat mendasar dan luas, serta bukti betapa syariat Islam ini memberikan deretan kemudahan untuk umatnya. Ini juga sekalis menunjukkan betapa esensi syariat dipenuhi nilai-nilai adil, kasih sayang, dan hikmah-hikmah baik yang tampak atau tersembunyi itu. Saking pentingnya kaedah ini,  Ibnu Qayyim membuat bab khusus dalam mahakaryanya I’lam al-Muwaqi’in  dengan tajuk “Fashlun fi Taghayyur al-Fatawa bi Hasabi al-Amkinah wa al-Azminah wa al-Ahwal wa an-Niyyat wa al-Awaid. (Bab Perubahan Fatwa Berdasarkan Tempat, Waktu, Kondisi, Motif, dan Tradisi.”

Begitulah fikih kita, sekali lagi memberikan ruang kita untuk berbeda, sehingga perbedaan ini pun sudah sepatutnya, dan tidak boleh tidak, harus dikelola dengan riang gembira. Bukankah syariat kita diturunkan ya untuk memberikan busyra, berita gembira? Maka, riang gembiralah kita dalam beragama. 

Idul Fitri 1444 H/ 2023 M yang diprediksi kuat berbeda ini pun, seyogianya juga dibaca dan disikapi dengan suka ria. Akan ada dua kali sajian opor di tetangga kita, anak-anak juga  dua kali menerima uang angpau lebaran,  akan ada sholat dua kali yang membuka nilai ekonomis buat para pedagang dadakan, dan seterusnya.

Tinggal kemudan tugas kita memberikan pemahaman soal adab menyikapi perbedaan itu dan mengajak segenap umat untuk riang gembira. Bersuka cita menyambut Idul Fitri, sebagaimana sunnah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau menyongsong hari raya umat Islam tersebut. Penulis merasa, seringkali ternyata hidup itu lebih indah jika dimaknai dengan pendekatan kasih sayang, dari sekadar perspektif fikih atau politik. Bukankah ada yang jauh lebih mahal yang harus kita jaga, yakni  hangatnya persaudaraan sesama Muslim dan sesama anak bangsa?

Selamat Idul Fitri 1444 H/2023, ja’alanallahu minal aidin wal faizin, taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal ya karim.   

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement