REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil Hak Asasi Manusia (HAM) mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan operasi tempur dalam misi pembebasan Pilot Susi Air, Kapten Philips Mark Marthen yang disandera sayap bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
Gabungan 21 lembaga swadaya masyarakat (LSM) meminta agar Indonesia mengambil jalur negosiasi untuk membebaskan pilot berkebangsaan Selandia Baru tersebut.
Koalisi juga meminta agar pemerintah Indonesia mengevaluasi pendekatan militeristik dalam menyikapi krisis di Bumi Cenderawasih.
Koalisi mengingatkan pemerintah Indonesia yang pernah berhasil mengambil jalur nonmiliter dengan melakukan dialog maksimal penyelesaian konflik di Aceh, Poso, juga di Ambon. Pernyataan Koalisi tersebut menyikapi peristiwa kekerasan terbaru yang terjadi di Distrik Mugi di Nduga, Papua Pegunungan, Sabtu (15/4/2023) sore WIT, dalam misi membebaskan Kapten Philips.
Dalam peristiwa itu, TNI dan TPNPB-OPM melakukan kontak senjata di Pos Militer Mugi-Mam, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan. Jumlah korban jiwa dalam peristiwa tersebut masih simpang siur.
Baca: Panglima TNI: KST Ketika Menyerang Pos Militer Libatkan Warga dan Anak-Anak
Kelompok separatisme, dalam penyampaian terbaru, Senin (17/4/2023), mengeklaim menewaskan sedikitnya 15 prajurit TNI. Dari pihak TNI mengakui hanya satu personelnya yang gugur, dan lima anggota Yonif Raider 321/GT Kostrad serta Kopassus yang belum diketahui nasibnya karena masih dalam pencarian.
"Pengalaman penyelesaian konflik di Aceh, Poso, maupun di Ambon, semestinya menjadi pelajaran penting dan berharga bagi pemerintah Indonesia untuk penyelesaian konflik di Papua," kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (18/4/2023).
Atas peristiwa tersebut, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono di Base Ops Lanudal Juanda, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, pada Selasa (18/4/2023), mengumumkan peningkatan status di Papua. Status dari rawan konflik dalam misi membebaskan Kapten Philips, dinaikkan menjadi siaga tempur darat.
Koalisi mengatakan, operasi tempur yang dilakukan TNI, maupun Polri untuk membebaskan Kapten Philips tersebut hanya akan memperpanjang, dan memperburuk situasi keamanan di Papua. "Jika itu pilihan kebijakan yang akan ditempuh, maka Koalisi mendesak agar rencana tersebut dibatalkan,” demikian pernyataan Koalisi.
Baca: Kapuspen Pastikan Panglima tak Naik Pesawat yang Tergelincir di Timika
Selama ini, menurut Koalisi, pendekatan dengan cara-cara militeristik tak pernah ampuh mengurai, pun menyentuh penyelesaian akar soal di Papua. Pun disebutkan sangat merugikan pihak TNI dan Polri yang juga menjadi korban.
Koalisi menyampaikan pendekatan-pendekatan militeristik di Papua sepanjang 2022 telah membuat sedikitnya 22 personel TNI dan Polri gugur. Pendekatan militeristik yang diterapkan di Papua juga berdampak langsung pada masyarakat asli Papua, juga memperpanjang pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
"Sudah saatnya Presiden dan DPR merealisasikan agenda dialog dalam setiap penyelesaian masalah di Papua. Dan bukan menggunakan pendekatan-pendekatan keamanan yang militeristik," begitu saran Koalisi.
Dalam rekomendasinya, Koalisi meminta Presiden Jokowi dan DPR untuk menyetop operasi tempur dalam misi pembebasan Kapten Philips, dan pendekatan militeristik dalam setiap penyelesaian konflik keamanan di Papua. Koalisi juga meminta agar Jokowi maupun DPR melakukan evaluasi atas seluruh kebijakan keamanan, hukum, dan pembangunan di Tanah Papua.
Terkait dengan krisis yang semakin tajam antara TNI-Polri dan TPNPB-OPM, Koalisi mendesak agar pemerintah Indonesia, dan sayap bersenjata prokemerdekaan Papua itu melakukan gencatan senjata dan penghentian permusuhan demi menyetop bertambahnya korban jiwa.
"Dan Koalisi meminta agar pemerintah Indonesia, bersama TPNPB-OPM sama-sama bersedia membuka ruang dialog yang setara dan bermartabat untuk penyelesaian konflik di Papua," kata Usman.
Baca: Reorganisasi Panghapusan Korem dan Pembentukan Kodam di 38 Provinsi