Rabu 19 Apr 2023 10:05 WIB

Ketua Umum Muhammadiyah Angkat Bicara tentang Perdebatan Sholat Idul Fitri 

Ia mengingatkan bahwa Islam merupakan agama yang cinta ilmu.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Fernan Rahadi
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menyampaikan paparan saat Ssilaturahim Jelang Idul Fitri 1444 di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Selasa (18/4/2023). Dalam konferensi pers ini dijelaskan tentang penggunaan metode Hisab pada penentuan Ramadhan serta Idul Fitri. Selain itu, juga dibahas tentang larangan penggunaan lapangan untuk Shalat Id pada Jumat (21/4/2023) di Pekalongan dan Sukabumi.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menyampaikan paparan saat Ssilaturahim Jelang Idul Fitri 1444 di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Selasa (18/4/2023). Dalam konferensi pers ini dijelaskan tentang penggunaan metode Hisab pada penentuan Ramadhan serta Idul Fitri. Selain itu, juga dibahas tentang larangan penggunaan lapangan untuk Shalat Id pada Jumat (21/4/2023) di Pekalongan dan Sukabumi.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir kembali angkat bicara soal polemik penolakan pelaksanaan Idul Fitri di sejumlah daerah. Ia meminta agar perdebatan soal perbedaan pelaksanaan sholat Idul Fitri disudahi.

"Pertama, perdebatan yang berkaitan dengan kemungkinan perbedaan Idul Fitri 21 April dan 22 April kami imbau untuk dicukupkan, lebih-lebih yang menyangkut debat kusir yang membuat kita saling menegasikan saling merendahkan, saling membenci, bahkan menghina satu sama lain, bahkan mungkin juga saling bermusuhan," kata Haedar dalam konferensi pers di Kantor Pusat PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Selasa (18/4/2023).

Baca Juga

Haedar mempersilakan agar perdebatan keilmuan dibuka ruang seluas-luasnya. Ia mengingatkan bahwa Islam merupakan agama yang cinta ilmu.  "Dan ilmu tidak boleh dengan kekuasaan, siapa pun dia. Ilmu harus terbuka," ujarnya.

Selain itu, ia juga berharap agar tokoh agama, tokoh islam, umat dan warga untuk saling toleran, dan saling menghargai menyikapi perbedaan yang ada. Selain itu yang tidak kalah penting adalah mengambil manfaat dan nilai luhur puasa di bulan Ramadhan dengan Idul Fitri serta rangkaian ibadah lainnya agar menjadi insan-insan yang lebih bertakwa.

Haedar juga mengimbau kepada kaum Muslimin yang menyelenggarakan Idul Fitri 21 April agar tetap menghormati umat Islam yang masih berpuasa. Tidak boleh mentang-mentang sudah ber-Idul Fitri namun kurang menghargai yang masih puasa. 

"Dan tidak boleh membikin pernyataan-pernyataan yang justru mengganggu toleransi, sebaliknya juga kami harapkan untuk saling menghargai. Agar Idul Fitri di hari Jumat maupun Sabtu betul-betul juga menggambarkan kedewasaan dan kematangan umat," katanya.

"Terakhir bagi pejabat negara baik yang (sholat id) 21 (maupun) 22 (April 2023) tunjukanlah kedua khazanah, kebijaksanaan, kearifan sebagai milik rakyat, milik semua golongan, Insya Allah lokasi apa pun jika dipakai untuk ibadah bahkan dua kali sekali pun di satu lokasi itu bahkan jadi berkah Allah," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement