Terlepas dari perbedaan definisi idul fitri, antara kembali makan pagi atau kembali kepada kesucian, yang jelas hari istimewa ini merupakan hari kebahagiaan bagi umat Islam. Pada hari ini umat Islam dilarang melakukan ibadah puasa sunat, qada, ataupun puasa nadzar. Idul fitri merupakan hari diperbolehkannya makan-makan pada pagi hari setelah satu bulan penuh kita mengalihkan waktu makan.
Pada hari tersebut tidak boleh ada orang-orang miskin berkeliaran mengemis karena tak memiliki makanan. Oleh karena itu, kaum aghniya diwajibkan mengawali idul fitri dengan mengeluarkan sedekah fitri yang lebih umum disebut zakat fitrah yang salah satu tujuannya adalah untuk memberikan persediaan makanan kepada kaum fakir-miskin.
Dengan demikian, secara sosial kemasyarakatan, idul fitri merupakan ajang untuk berempati terhadap sesama, berbagi rasa dan sebagian harta dengan mereka yang selama ini hidup dalam gelimang kekurangan dan kelaparan. Sungguh sangat berdosa jika kaum aghniya membiarkan kaum-fakir miskin kelaparan di hari raya yang seharusnya penuh kebahagiaan.
Pada masa pemerintahan khlaifah Umar bin Khattab r.a., sekelompok orang menangkap beberapa orang pencuri, kemudian menghadapkannya kepada khalifah. Mereka memohon kepada khalifah agar menghukum para pencuri tersebut.
Sebelum menjatuhkan hukuman, khalifah mengajukan beberapa pertanyaan, “Mengapa kalian melakukan pencurian?”
“Kami terpaksa melakukannya, karena kami kelaparan. Kami tidak mencuri kecuali hanya untuk menutupi rasa lapar keluarga kami saja. Tidak lebih dari itu?” Jawab mereka.
“Apakah di sekitar tempat tinggal kalian tidak ada orang-orang kaya yang peduli kepada kalian? Apakah mereka tidak mengeluarkan sedekah atau zakat?” Tanya khalifah selanjutnya.
“Tidak. Mereka lebih senang menahan zakat dan sedekah.” Jawab mereka
Kemudian khalifah menyuruh bawahannya untuk melepaskan mereka seraya membekali bahan makanan yang diambil dari baitul mal. Kemudian khalifah Umar bin Khattab r,a. berkata kepada para bawahannya, “Seandainya tidak akan menjadi fitnah, aku akan mengumpulkan kaum aghniya yang menahan zakat dan sedekah, dan aku akan potong tangan-tangan mereka, sebab mereka telah melakukan “pencurian” dengan menahan hak-hak orang fakir – miskin yang ada dalam harta mereka.”
Masih dalam bingkai sosial, hidup bermasyarakat, idul fitri merupakan ajang mempererat persaudaraan, berjemaah mempererat persatuan, berani hidup dalam bingkai kebersamaan dengan melakukan fokus terhadap persamaan, bukan fokus terhadap perbedaan. Dengan kata lain, idul fitri harus melahirkan sikap siap memberikan maaf atas kesalahan orang lain seraya siap bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan dalam segala hal selama tidak bertentangan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Karenanya, sungguh mengherankan jika idul fitri pada tahun ini diawali dengan isu-isu perilaku intoleran terhadap kelompok orang yang pelaksanaan waktu idul fitrinya berbeda dengan pemerintah atau kelompok lain.
Umat Islam selayaknya bersikap dan bertindak dewasa dalam menghadapi perbedaan, terlebih-lebih dalam pelaksanaan ibadah Ramadhan, idul fitri, dan idul adha yang waktu pelaksanaannya hampir selalu saja terdapat perbedaan. Pemerintah dan pihak – pihak terkait harus memberikan pemahaman kepada khalayak bahwa penentuan awal Ramadhan, idul fitri, dan idul adha merupakan ranah ijtihad, hasil olah pikir secara bersungguh-sungguh agar hasilnya mendekati kebenaran.
Perbedaan penggunaan metode dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah menghasilkan keputusan yang sering berbeda. Tapi sekali lagi, ini adalah masalah ijtihad. Berpahala dua kali lipat jika benar, dan berpahala satu kali lipat jika hasil ijtihadnya keliru. Dengan demikian tidak ada alasan untuk saling mencekal dalam pelaksanaan idul fitri karena masalah perbedaan waktu pelaksanaannya, apalagi sampai terjadi perpecahan diantara umat Islam sendiri.
Setiap perbedaan yang bersifat ijtihadi sejatinya menjadi jembatan penambah wawasan keilmuan dan penguat persaudaraan di kalangan umat Islam yang bermuara kepada terciptanya kehidupan yang sinergis. Steven R. Covey (1997), seorang ahli manajemen mengatakan intisari dari kehidupan yang sinergis adalah menghargai dan menghormati perbedaan, membangun kekuatan, dan mengimbangi kelemahan.
Kehidupan yang sinergis ini pada akhirnya akan bisa mengantarkan umat kepada keberjemaahan yang kokoh, bersatu, dan penuh persaudaraan. Selayaknya, kita tidak memaknai bersatu atau berjemaah dengan keseragaman dalam segala hal, sebab hal tersebut merupakan suatu hal yang mustahil. Hakikat dari berjemaah adalah bersatu dalam hal yang sependapat, dan toleran terhadap perbedaan pendapat selama berada dalam bingkai aturan Allah dan rasul-Nya.
Sejatinya idul fitri melahirkan kesucian hati. Salah satu dari kriteria kesucian hati adalah tidak merasa benar sendiri. Sikap merasa benar sendiri merupakan bagian dari kesombongan yang tentu saja bertentangan dengan takbir yang kita lantunkan hampir semalam suntuk ketika menyambut kedatangan idul fitri. Takbir merupakan lantunan pengakuan kita, tidak ada yang berhak “sombong” kecuali Alloh Yang Maha Agung, Penguasa alam semesta.
Sejak hari nan fitri ini mari kita belajar mengikis kesombongan diri, merasa benar sendiri, mengurangi sikap intoleran, belajar menumbuhkan persaudaran dan persatuan seraya semakin meningkatkan sikap empati terhadap sesama. Dengan cara seperti ini, selain sebagai wujud keberhasilan atas ibadah puasa kita selama bulan Ramadhan, juga merupakan wujud dari pelaksanaan idul fitri yang paripurna. Taqabballlahu minna wa minkum.