Setelah berkali-kali permintaan izinnya ditolak, akhirnya Muhammadiyah Cabang Jakarta bisa menggelar Shalat Id di tanah lapang pada Lebaran 1934. Sehari sebelumnya, panitia membuat pengumuman di koran Pemandangan mengenai rencana Shalat Id di tanah lapang ini. Panitia mengatakan tidak menyediakan tikar, sehingga jamaah diminta membawa alas shalat masing-masing. Dari sekitar 1.000 yang ikut shalat, sebagian besar memakai koran untuk alas shalat.
Oohya! Baca juga:
Lebaran Muhammadiyah, Shalat Id di Tanah Lapang Dulu Dipersulit Pemerintah Kolonial.
Shalat Id Muhammadiyah di Tanah Lapang yang Pertama di Batavia pada 1934, Koran Jadi Alas Shalat.
Mengapa Muhammadiyah menggelar Shalat Id di tanah lapang? Pengoeroes Moehammadijah tjabang Djakarta minta kita moeatkan seroean kepada sekalian kaoem Moeslimin penduduk Djakarta, soepaja membesarkan sji’ar Islam dengan mengoendjoengi sembahjang ‘Aidilfitri ditanah lapang terseboet. Demikian bunyi pengumuman di Pemandangan edisi 16 Januari 1934.
Sebelum akhirnya memberikan izin penyelenggaraan Shalat Id di tanah lapang, apa yang menjadi alasan pemerintah kolonial menolak permintaan izin sebelum-sebelumnya? Tak ada penjelasan, tetapi pendapat De Indische Courant pada 1939 bisa dilihat sebagai sudut pandang Belanda terhadap gerak-gerik pribumi yang agamanya berbeda dengan agama para pejabat kolonial.
De Indische Courant melontarkan pendapatnya terkait dengan pelaksanaan Shalat Id di tanah lapang pada Lebaran 1939. De Indische Courant edisi 21 November 1939 menyebut shalat di tanah lapang itu sebagai demonstrasi “dalam diam” sekaligus ekspresi ibadah keagamaan yang didasari oleh sikap nasionalistik --jika tak boleh disebut sikap politik.
Shalat berjamaah memperlihatkan tak ada sekat kelas sosial seperti yang biasa muncul dalam hubungan pribumi – Belanda. Begitu diperlihatkan di udara terbuka koran itu menyebutnya sebagai ekspresi keagamaan yang didasari sikap nasionalistik. Bagi Indische Courant, mengumpulkan orang-orang –laki dan perempuan—di tanah lapang untuk melakukan Shalat Id itu merupakan aksi melepaskan kelas sosial dan sikap hormat feodal yang selama ini selalu ditemukan dalam pertemuan-pertemuan dengan penguasa.
“Dunia Islam membuka matanya dan dengan sungguh-sungguh menyadari bahwa tidak cukup hanya duduk di bawah tempurung kelapa,” tulis koran itu.
Lalu bagaimana dengan pandangan Pemkot Pekalongan dan Pemkot Sukabumi, yang sempat menolak permintaan penyelenggaraan Shalat Id pada Jumat (21/4/2023) di lapangan public yang dikelola Pemkot? Alasannya sepele: Karena pemerintah belum mengumumkan Idul Fitri. Sedangkan Pemkot Sukabumi mengatakan, penyelenggaraan Shalat Id di tanah lapang akan diadakan oleh Pemkot.
Priyantono Oemar