Ahad 23 Apr 2023 06:10 WIB

Kala Bocah Pemulung Merapal Impian dari Pencakar Langit Jalan Sudirman

Banyak anak dari kaum marginal tersebut hanya memiliki pengetahuan terbatas.

Bocah pemulung, Rais, yang menyempatkan belajar meski berada di pinggir jalan menjadi viral di media sosial.
Foto: Tangkapan layar di Instagram
Bocah pemulung, Rais, yang menyempatkan belajar meski berada di pinggir jalan menjadi viral di media sosial.

REPUBLIKA.CO.ID, Azizah melangkah pelan menyusuri jalan artifisial selebar 6 meter di hadapannya sambil tetap sesekali memperhatikan langkah dan keramaian di sekelilingnya. Bocah 12 tahun itu patut berhati-hati karena di sepanjang jalan itu, bukan hanya sekumpulan anak manusia yang melintas, melainkan ada juga taksi sedan, bus satu pintu, dan terkadang sebuah truk pemadam kebakaran.

Kedua bola mata Azizah melintasi sudut demi sudut kota, bergerak cepat, dan berlompatan ke sana ke mari. Meski tak jarang, ia tenggelam cukup lama dalam sebuah pemandangan yang membuatnya terlihat seolah sedang tercenung tanpa makna.

Tapi tidak. Ia justru tengah mencerap dengan sepenuh hati serangkaian fasad bangunan-bangunan yang kukuh melingkupinya.

"Bagus, banget! Baru tahu ada tempat seperti ini,? katanya tanpa melepaskan senyum.

Azizah begitu terpesona dengan miniatur kota buatan dengan segala hiruk pikuk yang menaunginya. Di sebuah sudut, ia amat menikmati kegiatan sekumpulan anak yang tengah melatih keterampilan berbicara layaknya seorang penyiar radio. 

Dirinya juga tak mengendurkan pandangan kala menyaksikan beberapa anak mendengarkan instruksi seorang pengajar di sebuah pusat kebugaran kemudian bergerak serentak penuh semangat mengikuti irama lagu.

Sementara di sisi yang lain, Azizah juga tertarik menyaksikan sejumlah anak duduk berkumpul mengelilingi meja berbentuk huruf U, tengah berkonsentrasi super serius mengaduk adonan dalam sebuah bejana. Azizah meyakini betul bahwa racikan setengah padat berwarna putih pucat itu akan diolah menjadi potongan-potongan roti.

Ia bahkan tak segan melemparkan tawa keras ke udara sembari sesekali membetulkan posisi kerudungnya, saat mendengar raungan ribut sirene sebuah truk pemadam kebakaran dari kejauhan yang kemudian melintas perlahan di depan ia dan sahabat terbaiknya, Ayu, 14 tahun.

Ayu dan Azizah mengulum senyum kala menyaksikan polah tujuh personel pemadam kebakaran berseragam lengkap bernuansa kuning yang amat terampil melompat dari atas bus, menyerap instruksi khusus dari atasan mereka, dan sejurus kemudian sibuk meraih selang untuk mengarahkan air nan deras.

Ketujuh personel pemadam kebakaran tersebut terlihat heroik dan sungguh gagah saat mengemban tugas yang telah diamanatkan dengan berupaya sekuat tenaga menyelamatkan sebuah bangunan bertingkat tiga dari amukan si jago merah.

Tak seorangpun dari mereka menampakkan air muka ciut menghadapi kobaran api artifisial angkuh yang menjilat nyaris seluruh permukaan bangunan, meski tinggi badan para petugas tersebut hanya terpaut beberapa puluh sentimeter dari pompa air yang menjadi senjata mereka.

Saat dalam keadaan genting tersebut, salah seorang petugas pemadam kebakaran sepertinya terlihat gamang karena berada di persimpangan batin untuk mengambil sikap: antara mencermati sisi-sisi bangunan terbakar yang wajib ia taklukkan atau menorehkan senyum paling manis ke arah kamera --yang menurutnya tak kalah penting. Ia pun mengambil pilihan yang kedua.

"Adik, coba lihat ke arah Mama. Sini, Sayang!" kata seorang perempuan paruh baya mengarahkan ponsel pintar ke arah si petugas pemadam kebakaran yang sempat masygul.

Perempuan itu sempat beberapa kali menyentuhkan jari telunjuknya ke bagian tengah layar dan mengarahkan ponsel ke si petugas penjinak api--yang tentu saja adalah anak yang paling ia cintai dan banggakan, dengan mengganti sudut pengambilan dari berbagai sisi.

"Oke. Lanjut, Sayang!" seru sang perempuan layaknya mantra sihir yang kemudian menyadarkan kembali si petugas pemadam kebakaran akan hal ihwal tugas utamanya saat itu: menjinakkan kobaran api.

Ketika api telah berhasil dijinakkan, ketujuh petugas pemadam kebakaran tersebut sama sekali tak terlena lantas menurunkan semangat untuk melakukan tugas berikutnya. Mereka tetap menjaga asa, kembali melompat cepat ke atas bus pemadam kebakaran, dan sibuk mengatur posisi berimpitan agak tak saling menjatuhkan. Sedetik kemudian, kendaraan tersebut kembali meraung-raung dengan sirene yang membuat semua orang di sekitarnya menoleh lalu melepaskan senyum.

Saat bus tersebut telah menjauh, Ayu sontak tersadar, memalingkan wajah ke sekeliling, lantas meraih tangan Azizah. Keduanya kemudian bergerak ke arah sebuah bangunan yang mereka yakini betul adalah sebuah rumah sakit model konsep.

"Kami mau main 'operasi-operasian', mau jadi dokter," kata Ayu sambil mengintip ke dalam sebuah ruangan bernuansa kuning gading yang dipenuhi peralatan medis di setiap sudut dan beberapa tempat tidur, lengkap dengan boneka-boneka yang terlentang dan selalu siap untuk menjalani pemeriksaan kesehatan karena telah ditakdirkan menjadi pasien.

"Saya senang sekali bisa belajar sambil main di sini. Seru, bisa jadi apa saja kayak dokter, polisi, pembuat kue, pemadam kebakaran, dan banyak lagi," terang Ayu yang memiliki cita-cita menjadi seorang pramugari maskapai penerbangan.

Senada dengan Ayu, Azizah yang berketetapan ingin menjadi seorang dokter kelak, juga merasa gembira ketika mendapati ada wahana bermain sambil belajar dengan konsep yang unik dan menyenangkan, tak jauh dari lokasi tempat tinggal mereka selama ini.

 

photo
Pemulung memilah barang di Kampung Gasong, Menteng Pulo, Jakarta. (ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)

 

 

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement