Jumat 21 Apr 2023 10:26 WIB

Ramadhankan Hati, Ramadhankan Diri

Amalan yang diwajibkan sekali dalam setahun ini meninggalkan berbagai rasa di hati.

Puasa Ramadhan (ilustrasi). Menjalankan puasa tidak hanya soal mempersiapkan mental dan spiritual, tetapi juga menjaga kesehatan tubuh
Foto: www.freepik.com
Puasa Ramadhan (ilustrasi). Menjalankan puasa tidak hanya soal mempersiapkan mental dan spiritual, tetapi juga menjaga kesehatan tubuh

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Salmah Febriani

Alhamdulillah, sebulan penuh sudah umat Muslim berpuasa. Amalan yang diwajibkan sekali dalam setahun ini meninggalkan berbagai rasa di hati para pemeluknya. Ada yang gembira karena bisa kumpul dengan keluarga. Pun sebaliknya, ada yang harus bersabar menahan rindu karena belum bisa bertemu. Apapun rasanya, Ramadan memang selalu menjadi momentum kebahagiaan; berburu ta’jil, safari tarawih, tadarus bersama, semangat I’tikaf di sepuluh hari terakhir, bisa membeli baju baru, hingga bersiap angpao lebaran. 

Baca Juga

Namun dari sekian banyak euphoria Ramadan, perasaan hampa mulai terasa. Bulan diturunkannya al-Quran, bulan dimana pintu-pintu surga dibuka, pintu neraka tertutup dan syatihan terbelenggu, sebentar lagi terganti dengan Syawal atau biasa kita sebut dengan ‘Idul Fitri—kembali pada fitrah, suci, bersih, tersirat harapan semoga puasa satu bulan penuh mendidik kita menjadi pribadi yang lebih baik.

Berbicara mengenai Ramadan, bulan ini bukan saja menjadi latihan fisik Rasulullah, namun juga bulan latihan jiwa, terlebih bagi kita umatnya. Sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan utamanya ialah momen yang sangat dimaksimalkan Rasulullah Saw. I’tikaf, tadarus, berzikir, sedekah ialah amalan-amalan yang senantiasa dilakukan Rasulullah di bulan Ramadan. Dalam bab I’tikaf, kitab Shahih Muslim misalnya, diriwayatkan oleh Aisyah ra, “Sesungguhnya Nabi pernah beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan dan hal itu beliau lakukan sampai beliau meninggal dunia. Kemudian para isteri beliau tetap melaksanakannya setelah kematian beliau.” (HR. Muslim/ 637). Atau dalam hadits lain berikutnya yang juga diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisyah ra “Apabila telah masuk 10 hari terakhir, maka Rasulullah menghidupkan malamnya dengan beragam jenis ibadah sunnah seperti shalat malam, berdzikir juga membangunkan dan mengajak seluruh anggota keluarganya untuk bersungguh-sungguh mengencangkan ikat pinggangnya.” (HR. Muslim/ 638).

Teladan Rasulullah dalam menyambut dan memaksimalkan ibadah Ramadan sesungguhnya bukan hanya karena Ramadan bulan yang mulia dan penuh ampunan karena pahala ibadah dilipatgandakan. Namun, beliau memberi contoh pada kita semua agar menjauhkan diri dari berleha-leha saat Ramadan. Mengapa? sebab Ramadan adalah bulan yang dikhususkan untuk umat Nabi Muhammad. Hadiah special untuk umat akhir zaman. Begitu besar rasa sayang Rasulullah pada umatnya hingga Allah menyediakan waktu khusus bagi umat Islam yakni pada bulan Ramadan. Sehingga, karena ingin memaksimalkan kemuliaan pahala di bulan Ramadan, beliau tidak membuang waktu berlama-lama untuk berleha-leha. Istirahat sekedarnya lalu kembali mengingat-Nya. Bahkan, di bulan Ramadan, Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah untuk bersama-sama membaca al-Quran. Karena bulan Ramadan ialah bulan turunnya al-Quran itulah, Allah khususkan pula satu malam mulia (Lailatul Qadr) yang jika dimaksimalkan untuk meraihnya, setara dengan ibadah selama 83 tahun lebih. MasyaAllah…

Berkah Lailatul Qadr yang Allah berikan pada mereka yang mencari dan mengupayakannya, merupakan bukti cinta Allah pada umat Nabi Muhammad. Sebab belum tentu usia kita sampai 83 tahun. Karenanya, jika dihitung dengan jari, Ramadan hanyalah satu bulan saja, sementara di luar bulan Ramadan, masih ada PR besar; ada 11 bulan atau sekitar 335 hari lagi. Puasa sebulan penuh diharapkan mampu menjadi latihan fisik dan jiwa untuk tetap ‘meramadankan diri’. Meramadankan diri berarti menganggap setiap hari layaknya bulan Ramadan. Semangat ibadah selalu terjaga, memperbaiki ibadah fardhu dan sunnah, menjadikan setiap helaan nafas ialah zikir Ramadan; semangat melakukan amal kebaikan, termasuk berbesar hati menerima aneka perbedaan. Termasuk, perbedaan dalam menentukan kapan lebaran.

Tahun ini, pemerintah memutuskan 1 Syawal jatuh pada Sabtu, 22 April 2023. Sementara organisasi Islam lainnya menetapkan 1 Syawal jatuh satu hari lebih awal. Melalui perbedaan ini sungguh, Allah tengah mengajarkan kita banyak hal. 

Dalam kitab yang sama (Shahih Muslim) di Kitab ash-Shiyam (Bab Puasa) diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, dia berkata, Rasulullah Saw pernah menyebutkan masalah hilal (bulan tanggal satu), beliau mengatakan, Apabila kalian telah melihat hilal, maka kalian harus berpuasa dan apabila kalian telah melihat hilal, maka kalian harus berbuka. Namun, apabila bulan tertutup sehingga kalian tidak melihatnya, maka hitunglah bilangan bulan sebanyak 30 hari. (HR. Muslim/578)

Dalam hadits lainnya pada bab yang sama & diriwayatkan oleh Ummu Salamah ra, terdapat redaksi bahwa satu bulan itu ialah 29 hari (inna asy-syahra yakuunu tis’atan wa ‘isyrina yauman). Tuntunan hadits tersebut memberi tanda bahwa perbedaan dalam 1 Ramadan maupun 1 Syawal bukan saja terkait masalah metode pemantauan namun juga sebetulnya kita tengah dilatih untuk berbesar hati menerima perbedaan. Puasa satu bulan penuh diharapkan mampu merontokkan ego masing-masing diri. Tetap menerima keputusan pemerintah sembari legowo dan menghargai keputusan orang lain. Sehingga, dengan sifat tasamuh ini, tak perlu menunggu 11 bulan berikutnya untuk kembali berjumpa Ramadan karena setiap hari bagaikan Ramadan. Semoga, karakter Ramadan kian melekat dalam diri. Mari Ramadankan Hati, Ramadankan Diri. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1444 H.  

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement