REPUBLIKA.CO.ID,BOGOR -- Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) dikabarkan akan mengumumkan bakal calon presiden (capres) yang akan diusung. Rencananya, pengumuman dilangsungkan di Istana Batutulis, Bogor, Jumat (20/4/2023) siang ini.
Terlepas dari siapa calon yang akan diuumumkan, PDIP merupakan salah satu partai tua di Indonesia. Jika digabungkan sejak bernama PDI, partai ini sudah berusia lebih dari 50 tahun.
Sejarah kepartaian zaman Orde Baru dimulai pada Pemilu 1971, yang diikuti 10 organisasi peserta pemilu (OPP), satu di antaranya Golongan Karya. Kemudian sejak 1973, penguasa Orde Baru telah mengkooptasi seluruh organisasi sosial politik (orsospol) yang ada, dan secara sistematik memisahkan para politisi partai dari masa pendukungnya.
Kemudian lewat strategi penyederhanaan partai, tanpa melalui persetujuan masyarakat sebagai pemilik sah partai-partai yang disatukan, dibentuklah tiga OPP. Yakni PPP (fusi dari NU, Partai Muslimin Indonesia, Partai Serikat Islam, Perti), Golkar, dan PDI (gabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, serta Murba).
Sejak kelahirannya, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) memang menyimpan potensi konflik. Maklum, partai ini terbentuk melalui fusi partai partai politik dengan latar belakang yang beragam.
Partai partai tersebut jejak perjuangannya memiliki sejarah, bahkan latar belakang ideologi yang beragam pula. Keragaman itu ternyata tetap mewarnai dinamika dan kiprah PDI selama Orde Baru.
Menjelang pemilihan umum 1997 friksi di tubuh PDI kian memanas. Partai yang berlambangkan kepala banteng ini masih saling seruduk kiri kanan di antara sesama tokoh dan warganya. Hal ini terutama semenjak Kongres yang diadakan di Medan pada masa kepemimpinan Suryadi pada Agustus 1993 yang kemudian diteruskan dengan Musyawarah Nasional di Jakarta dan memilih Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua DPP PDI.
Usaha untuk mengguncang kepemimpinan Megawati terus menerus dilakukan oleh berbagai kalangan. Yusuf Merukh adalah salah seorang di antaranya. Dengan berbagai macam cara yang dilakukan oleh kelompok Jusuf Merukh untuk mengguncang Megawati terutama dengan membuat pengurus PDI tandingan di berbagai daerah dan cabang, baik dilakukan secara terang-terangan ataupun dilakukan dengan kucing-kucingan karena tidak ada izin dari pemerintah serta tantangan yang sangat keras dari aktivis PDI yang mendukung Megawati secara fanatik.
Sementara pada Juli 1997, digelar acara mimbar bebas atau "Mimbar Demokrasi" di kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro, Jakarta. Pengunjungnya setiap hari, konon, ribuan. Di sini, pengunjung bersua dengan suara-suara keras mengkritik status quo politik. Tak ada anggota kabinet berkenan hadir di sini. Kala itu, kantor DPP PDI tersebut juga dikuasai kader PDI pro-Megawati.
Pada 27 Juli 1996, di tengah acara Mimbar Demokrasi itu, terjadi aksi perebutan kantor pusat DPP PDI di Jalan Diponegoro Itu oleh pendukung Suryadi, ketua umum DPP hasil Kongres Medan. Selain memakan korban jiwa, kerusuhan massal yang terjadi menimbulkan kerusakan sejumlah bangunan dan kendaraan.
Pemerintah Orde Baru disebut terlibat karena sejak awal acara sedianya terlihat aparat keamanan berjaga-jaga. Komnas HAM saat itu menyebutkan ada lima orang tewas, 149 orang luka-luka, dan 74 hilang.
Menyusul perpecahan di PDI itu, kubu Megawati menyerahkan suara mereka pada Pemilu 1997 ke Partai Persatuan Pembangunan. Walhasil, PDI hanya mendapat 3 persen suara.
Selepas Reformasi, perebutan kursi ketua PDI tak juga selesai. Akhirnya, pada 9 Oktober 1998, kongres PDI versi Megawati digelar. Di sini untuk pertama kalinya embel-embel "Perjuangan" dibelakang nama PDI dicantumkan.
Sekitar 50 ribu massa PDI Perjuangan memenuhi lapangan Kapten Japa Sanur, Bali. Mereka, dengan membawa berbagai atribut berwarna merah, rela berpanas-panas untuk mendengar pidato Megawati Soekarnoputri.
Putri Bung Karno ini hadir di tempat acara sekitar pukul 10.15 WITA. Ketika Megawati tiba, massa seperti tak sabar untuk mendekat, mengakibatkan aparat keamanan dan pecalang kewalahan menahan massa yang merangsek maju mendekatinya.
Dalam pidatonya, Megawati secara implisit menerima nama PDI Perjuangan. "Kongres ini saya sebut Kongres perjuangan. Mengapa? Karena ini adalah Kongresnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan," katanya dalam pidato pembukaan kongres.
Tahun selanjutnya, saat PDI Perjuangan akhirnya ikut Pemilu 1999, partai itu menang besar. Sebanyak 33,12 persen suara berhasil diperoleh dan partai itu menempati puncak klasemen. Sejak itu, PDI Perjuangan sukar digoyang dari papan atas di berbagai pemilu.