Ahad 23 Apr 2023 20:59 WIB

Menteri Pertanian G-7 Kutuk Rusia Atas Dampak Perang Terhadap Pangan

Kelompok G-7 sepakat bantu Ukraina hidupkan kembali industri pertaniannya.

Red: Reiny Dwinanda
Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang Tetsuro Nomura (tengah) menyampaikan pidato pembukaan pada Pertemuan Menteri Pertanian G7 di Miyazaki, Jepang barat daya, 22 April 2023.
Foto: EPA-EFE/JIJI PRESS JAPAN
Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang Tetsuro Nomura (tengah) menyampaikan pidato pembukaan pada Pertemuan Menteri Pertanian G7 di Miyazaki, Jepang barat daya, 22 April 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, MIYAZAKI -- Para menteri pertanian kelompok G-7, Ahad (23/4/2023), mengutuk Rusia atas perang melawan Ukraina dan dampak konflik terhadap ketahanan pangan global. Mereka juga sepakat membantu Kiev menghidupkan kembali industri pertanian dengan berbagi pengetahuan tentang penghapusan ranjau lahan pertanian dan membangun kembali infrastruktur.

Dalam komunike bersama pada puncak pertemuan dua hari mereka di Miyazaki, barat daya Jepang, para menteri juga membahas jalan untuk mengatasi perubahan iklim dan pandemi Covid-19 di antara tantangan yang dihadapi oleh sistem pangan globa.

Baca Juga

Mereka mengatakan peningkatan upaya untuk membuat mereka lebih tangguh dan berkelanjutan sangat dibutuhkan.

"Kami sangat prihatin dengan dampak buruk perang terhadap ketahanan pangan secara global, paling tidak melalui lonjakan harga biji-bijian, bahan bakar dan pupuk, yang secara tidak proporsional berdampak pada yang paling rentan," kata pernyataan tersebut.

Para menteri G-7, yang mewakili Inggris, Kanada, Jerman, Prancis, Italia, Jepang, dan Amerika Serikat (AS), ditambah Uni Eropa, mengakui bahwa konflik hanya memperburuk ketidakstabilan pangan dan hilangnya keanekaragaman hayati terus terjadi dalam skala besar mempengaruhi kesehatan tanaman, air, dan tanah.

Menurut survei tahun 2021 yang dirilis oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), ekspansi pertanian bertanggung jawab atas hampir 90 persen deforestasi global, dengan lebih dari separuh hutan habis karena diubah menjadi lahan pertanian dan 40 persen menghilang karena penggembalaan ternak.

Para menteri juga mengumumkan rencana aksi terpisah, yang disebut sebagai Aksi Miyazaki, sebagai respon terhadap berbagai masalah kompleks yang dihadapi sistem pangan global.

Rencana tersebut membahas tantangan jangka pendek, seperti konflik internasional dan virus korona, sambil berfokus pada tujuan jangka panjang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengembalikan keanekaragaman hayati yang menghilang.

Di antara poin-poin yang diuraikan dalam rencana tersebut adalah "untuk mendiversifikasi rantai pasokan dengan mengeksplorasi cara-cara untuk untuk meningkatkan sistem pangan lokal, regional, dan global, memanfaatkan penggunaan keberlanjutan sumber pertanian domestik yang ada dan memfasilitasi perdagangan."

Selamat periode pertemuan, Menteri Pertanian Jepang Tetsuro Nomura mengadakan pembicaraan bilateral dengan menteri pertanian G-7 dan beberapa organisasi internasional yang berpartisipasi.

Nomura membuat kesepakatan dengan menteri pertanian AS dan Kanada untuk mengadakan dialog rutin guna pertukaran informasi tentang pencapaian pertanian keberlanjutan dan meningkatkan produktivitas.

Mengenai masalah Jepang, dia mendesak Komisaris Uni Eropa untuk Pertanian Janusz Wojciecowski untuk menghapus pembatasan produk seperti makanan laut dan jamur liar dari timur laut Prefektur Fukushima, yang mengalami bencana nuklir di pembangkit listrik Fukushima Daiichi saat dilanda gempa bumi dan tsunami pada tahun 2011.

Pembicaraan mengenai peningkatan produksi pertanian bukanlah topik utama diskusi G-7, sebagian karena negara anggota termasuk dalam eksportir besar, seperti AS, menurut Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang.

Dikhawatirkan juga bahwa usaha untuk memperluas produksi pertanian akan mendorong negara-negara mengambil tindakan proteksionis, seperti mensubsidi petani.

Jepang, negara miskin sumber daya dan cepat menua, percaya bahwa meningkatkan produktivitas pertanian adalah masalah utama yang harus diatasi untuk meningkatkan tingkat swasembada pangan, yang mencapai 38 persen pada tahun fiskal 2021 berdasarkan basis kalori.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement