Senin 24 Apr 2023 17:54 WIB

Tak Hanya Masalah Kesehatan, Ini Bahaya Panas Ekstrem yang Melanda Kawasan Asia

Gelombang panas India membuat rakyatnya lebih rentan terhadap penyakit dan kelaparan.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Warga beraktivitas saat cuaca terik di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Senin (24/4/2023).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Warga beraktivitas saat cuaca terik di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Senin (24/4/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Suhu yang sangat panas membakar Asia pekan ini. Kondisi ini membuat jaringan listrik di kawasan itu semakin sulit dan meningkatkan risiko kesehatan.

Kekeringan terburuk dalam satu dekade berdampak pada pusat aluminium utama Cina. Sementara suhu yang membakar di India telah meningkatkan kemungkinan gelombang panas dan pemadaman listrik yang mematikan.

Baca Juga

Thailand mencapai rekor nasional lebih dari 45 derajat Celcius pekan lalu. Sementara negara-negara seperti Bangladesh juga mengalami suhu di atas 40 derajat celcius pada April.

Meskipun bulan-bulan ini memang biasanya yang terpanas di India dan sebagian Asia Tenggara, suhu yang melonjak melanjutkan pola cuaca buruk selama beberapa tahun terakhir. Kondisi ini menguji kemampuan pemerintah untuk melindungi kesehatan masyarakat dan mencegah gangguan pada pemulihan ekonomi.

Gelombang panas India membuat rakyatnya lebih rentan terhadap penyakit dan kelaparan, menghambat perkembangan ekonomi terbesar ketiga di Asia. “Rekor panas di Thailand, Cina, dan Asia Selatan adalah tren iklim yang jelas dan akan menyebabkan tantangan kesehatan masyarakat untuk tahun-tahun mendatang,” kata ilmuwan Analisis Iklim yang berbasis di Islamabad Fahad Saeed seperti dilansir laman Bloomberg, Senin (24/4/2023).

Cuaca ekstrem semakin sering terjadi karena perubahan iklim, dan dunia baru saja mengalami dua tahun La Nina. Peristiwa itu menyebabkan banjir di Pakistan dan kekeringan di Amerika Selatan. Kemungkinan juga akan terjadi El Nino lagi tahun ini, yang akan membawa kondisi yang lebih kering ke beberapa bagian Asia.

Dampak dari cuaca buruk di Asia mengancam untuk bergema di luar wilayah tersebut. Cina dan Vietnam adalah pusat produksi sebagian besar barang dunia mulai dari elektronik hingga pakaian, dan panas ekstrem serta kekeringan datang tepat saat negara-negara mulai pulih dari pandemi Covid-19.

Beijing telah mengalami gangguan besar pada produksi industri dalam beberapa tahun terakhir karena cuaca ekstrem. Itu dicengkeram oleh kekeringan parah tahun lalu yang berdampak pada Sungai Yangtze. Aliran sungai inidigunakan untuk mengairi pertanian dan memberi daya pada pembangkit listrik Bendungan Tiga Ngarai yang besar.

Provinsi Yunnan, di barat daya Cina, telah dipengaruhi oleh kondisi kekeringan selama beberapa bulan. Kekeringan ini menyebabkan pengurangan produksi aluminium sejak September karena produksi tenaga air yang lebih rendah. Cina bersama dengan India mengandalkan batu bara untuk memastikan pasokan listrik yang andal.

Tapi setiap hari gelombang panas India terus meningkatkan kemungkinan menipisnya cadangan bahan bakar negara. Pemerintah telah memperingatkan pemadaman karena suhu yang lebih panas mendorong penggunaan AC dan pompa yang lebih tinggi untuk irigasi. Gelombang panas pada 2022 menyebabkan penderitaan yang meluas dan mempengaruhi pasokan gandum.

Asia telah dilanda jenis cuaca liar lainnya akhir-akhir ini. Badai pasir yang berasal dari Mongolia dan Cina serta mempengaruhi Korea Selatan dan Jepang. Kemudian kemunculan topan terbesar yang melanda Australia Barat dalam lebih dari satu dekade.

Kesengsaraan cuaca telah menyebar ke pasar saham karena investor khawatir tentang dampaknya. Panas India mengancam produksi di negara penghasil susu terbesar di dunia, mendorong stok susu, sementara saham perusahaan pertanian di Thailand menjadi fokus pada ekspektasi cuaca yang lebih panas dan lebih kering.

Petani Australia juga menghadapi cuaca yang lebih panas dalam beberapa bulan mendatang. Mereka biasanya mulai menanam gandum pada April, dengan panen raya musim lalu membantu mengimbangi beberapa kerugian yang disebabkan oleh perang Rusia di Ukraina.

Hujan baru-baru ini akan memastikan awal musim yang baik, tetapi kondisi yang lebih kering dapat memengaruhi panen di akhir tahun. “Masa kritis akan terjadi pada Agustus-September, mengingat kami memiliki kelembapan yang cukup untuk membawa kami sejauh itu,” kata pemimpin broker dan penasihat IKON Commodities yang berbasis di Sydney Ole Houe.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement