Selasa 25 Apr 2023 06:28 WIB

Sejumlah Negara Percepat Evakuasi Warganya Dari Sudan Selama Jeda Pertempuran

Kedua belah pihak yang bertempur di Sudan tidak mematuhi gencatan senjata.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Asap terlihat di Khartoum, Sudan, Sabtu (22/4/2023). Pertempuran di ibu kota antara Tentara Sudan dan Pasukan Pendukung Cepat berlanjut setelah gencatan senjata yang ditengahi internasional gagal.
Foto: AP Photo/Marwan Ali
Asap terlihat di Khartoum, Sudan, Sabtu (22/4/2023). Pertempuran di ibu kota antara Tentara Sudan dan Pasukan Pendukung Cepat berlanjut setelah gencatan senjata yang ditengahi internasional gagal.

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Negara-negara Eropa, Cina, dan negara lainnya dari seluruh dunia berlomba untuk mengeluarkan ribuan warganya dari Khartoum pada Senin (24/4/2023). Mereka mempercepat evakuasi selama jeda pertempuran sengit antara tentara dan pasukan paramiliter.

Ledakan kekerasan antara militer dan kelompok paramiliter Sudan, Rapid Support Forces (RSF) pada 15 April telah memicu krisis kemanusiaan dan menewaskan 420 orang. Konflik ini menyebabkan jutaan orang Sudan tidak memiliki akses ke layanan dasar dan terjebak di rumah mereka. Sementara ribuan diplomat asing, pekerja bantuan, pelajar dan keluarga mereka juga terjebak di zona perang.

Baca Juga

Jet tempur telah membom Ibu Kota Khartoum dan rentetan artileri telah membuat pergerakan masuk dan keluar dari salah satu kota terbesar di Afrika menjadi tidak aman. Diplomat menjadi sasaran serangan, dan sedikitnya lima pekerja bantuan tewas. Kedua belah pihak tidak mematuhi gencatan senjata.

Namun, pertempuran cukup mereda selama akhir pekan. Hal ini dimanfaatkan Amerika Serikat untuk mengeluarkan staf kedutaan dengan helikopter militer, dan memicu desakan evakuasi oleh negara lain.

Setidaknya dua konvoi yang terlibat dalam evakuasi diserang, termasuk satu konvoi yang membawa staf kedutaan Qatar dan satu konvoi lagi membawa warga negara Prancis. Salah satunya terluka dalam serangan itu.

Prancis dan Jerman pada Senin mengatakan, mereka telah mengevakuasi sekitar 700 orang. Namun mereka tidak memberikan rincian kewarganegaraan orang yang telah dievakuasi. Sebuah pesawat angkatan udara Jerman yang membawa pengungsi mendarat di Berlin pada Senin pagi.

Beberapa negara mengirim pesawat militer dari Djibouti untuk menerbangkan warga mereka keluar dari ibu kota. Sementara operasi lain membawa orang dengan konvoi ke Port Sudan di Laut Merah, yang berjarak sekitar 800 kilometer melalui jalan darat dari Khartoum. Dari Port Sudan, ada yang naik kapal ke Arab Saudi.

Indonesia telah mengevakuasi lebih dari 500 warganya ke pelabuhan dan menunggu transportasi ke Jeddah, di seberang Laut Merah. Sementara Cina, Denmark, Lebanon, Belanda, Swiss, dan Swedia juga telah mengeluarkan warga negaranya, sedangkan Jepang sedang bersiap mengirim tim evakuasi dari Djibouti.

Konvoi sekitar 65 kendaraan yang membawa sekitar 700 badan internasional PBB, organisasi non-pemerintah dan staf kedutaan serta tanggungan mereka melaju dari Khartoum ke Port Sudan pada Ahad (23/4/2023).  Evakuasi staf internasional dari Darfur juga sedang dilakukan. Beberapa dievakuasi menuju Chad dan lainnya ke Sudan Selatan.

Pertempuran di Sudan telah menutup sebagian besar rumah sakit dan membatasi pasokan air dan listrik.  Pembunuhan pekerja bantuan, termasuk tiga dari Program Pangan Dunia, telah menyebabkan badan PBB tersebut menghentikan operasinya di Sudan. 

Tentara dan RSF bersama-sama melakukan kudeta pada 2021. Tetapi mereka berselisih selama negosiasi untuk mengintegrasikan kedua kelompok dan membentuk pemerintahan sipil, empat tahun setelah otokrat Omar al-Bashir yang telah lama berkuasa digulingkan. Persaingan mereka telah meningkatkan risiko konflik yang lebih luas yang dapat menarik kekuatan luar.

Di luar ibu kota, waga Sudan dilaporkan telah melarikan diri dari bentrokan di beberapa wilayah, termasuk tiga negara bagian Darfur, negara bagian Blue Nile di perbatasan dengan Ethiopia dan Sudan Selatan. Termasuk negara bagian Kordofan Utara di barat daya Khartoum.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement