REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Denny Indrayana mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus melakukan kerja politik untuk ikut memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Bukan sebagai pasangan calon peserta pilpres, melainkan untuk memastikan pasangan yang didukung bisa menang dalam kompetisi Pilpres 2024.
Menurut Denny, keterlibatan aktif Presiden Jokowi yang ikut cawe-cawe dalam Pilpres 2024 adalah salah satu ancaman nyata bagi demokrasi Indonesia. "Sebagai orang yang mengangkat salam dua jari dan ikut memilih Jokowi di Pilpres 2014, saya merasa bertanggung jawab untuk tidak membiarkan Beliau melakukan kesalahan konstitusional yang sangat fatal dan membahayakan kehidupan berbangsa," kata Denny di Jakarta, Selasa (25/4/2023).
Dia menerangkan, setiap orang, tidak terkecuali Presiden Jokowi sekali pun, berhak punya pilihan dan preferensi terhadap calon presiden (capres). Tetapi, ia menilai, ketika RI 1 yang sedang menjabat menyalahgunakan kewenangan dan pengaruh yang dimilikinya untuk memenangkan paslon yang didukungnya maka Jokowi jelas telah melanggar konstitusi.
"Karena salah satu tugas utama presiden adalah memastikan setiap pemilu berjalan free and fair. Sebab, dengan kekuatan dan jaringan yang dimilikinya, sang presiden punya peluang besar untuk mempengaruhi hasil pemilu. Akibatnya, arena pertandingan tidak lagi adil bagi semua paslon, utamanya yang tidak mendapat dukungan sang presiden," ujar mantan wakil menteri hukum dan ham (wamenkumham) tersebut.
Denny menganggap, Jokowi tidak ingin lagi mengalami kekalahan sebagaimana kisah Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017, ketika jagoannya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kalah dari Anies Rasyid Baswedan. Karena itu, untuk Pilpres 2024, sambung dia, Jokowi betul-betul mengambil peran sebagai the real king maker, sayangnya dalam bentuk yang salah.
Salah satunya dengan mendukung upaya peninjauan kembali (PK) yang dilakukan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko pengurusan Partai Demokrat di Mahkamah Agung. Jika gugatan dikabulkan maka Demokrat dikuasai Moeldoko, dan Koalisi Perubahan bisa bubar.
"Tanpa menafikan adanya kemungkinan dinamika dan perubahan, Presiden Jokowi terbaca mendukung paslon Ganjar Pranowo-Sandiaga Uno, lalu juga mencadangkan sokongan kepada Prabowo Subianto-Airlangga Hartarto, sambil tetap berusaha menggagalkan pencapresan Anies Baswedan, yang kemungkinan berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono, sepanjang partainya tidak berhasil 'dicopet' Moeldoko, tentu dengan persetujuan Presiden Jokowi," kata Denny.
Dia menerangkan, di panggung depan alias di hadapan publik, keterlibatan Jokowi dalam Pilpres 2024 selalu dibantah. Namun, dalam realitas panggung belakang, menurut Denny, ketika melakukan lobi di ruang tertutup, langkah dan kerja politik nyata dan serius.
Denny menganalisis, target Jokowi, siapa pun presiden penggantinya adalah orang yang bisa mengamankan dan melanjutkan program kerjanya. Kepada seorang petinggi negara salah seorang lingkar utama Istana, menurut dia, Jokowi mengatakan paling tidak ada dua hal yang diinginkan sesudah lengser pada 2024.
"Satu, proyek Ibu Kota Negara (IKN) harus berlanjut, serta dua, tidak ada masalah ataupun kasus hukum yang menjerat Jokowi ataupun keluarganya," kata Denny.