Rabu 26 Apr 2023 15:50 WIB

Diplomat Rusia: Pihak Asing Coba Percepat Reformasi Militer Sudan

WHO mencatat 450 orang tewas dan lebih dari 4.000 orang terluka akibat konflik Sudan.

Asap terlihat di Khartoum, Sudan, Sabtu (22/4/2023). Pertempuran di ibu kota antara Tentara Sudan dan Pasukan Pendukung Cepat berlanjut setelah gencatan senjata yang ditengahi internasional gagal.
Foto: AP Photo/Marwan Ali
Asap terlihat di Khartoum, Sudan, Sabtu (22/4/2023). Pertempuran di ibu kota antara Tentara Sudan dan Pasukan Pendukung Cepat berlanjut setelah gencatan senjata yang ditengahi internasional gagal.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Wakil Duta Besar Rusia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anna Yevstigneyeva mengatakan bahwa ada banyak aktor asing yang mencoba untuk mempercepat penanganan masalah terkait sengketa kekuasaan atas angkatan bersenjata di Sudan.

"Kita perlu menyadari bahwa krisis Sudan saat ini secara umum disebabkan oleh adanya upaya intervensi dari pihak asing yang mengganggu kedaulatan Sudan dengan mencoba melakukan rekayasa politik dan memaksakan nilai-nilai demokrasi mereka terhadap negara tersebut," kata Yevstigneyeva dalam sesi pengarahan Dewan Keamanan (DK) PBB tentang situasi di Sudan seperti dilansir kantro berita TASS.

Baca Juga

Perombakan sektor keamanan di Sudan, menurut dia, adalah salah satu masalah paling rumit yang memerlukan perhatian khusus dan proses negosiasi yang menyeluruh.

"Pada saat yang sama, kita melihat banyaknya aktor eksternal yang mencoba memaksakan penyerahan kekuasaan kepada sipil, dan memaksakan sejumlah keputusan yang pada dasarnya tidak didukung oleh sebagian besar rakyat di sana," kata diplomat Rusia itu.

Pada kesempatan tersebut, Yevstigneyeva juga menyinggung perihal perjanjian Sudan Political Framework Agreement yang disepakati pada 5 Desember 2022 yang diharapkan dapat menjadi fondasi bagi transisi pemerintahan dari militer ke sipil.

Ia mengatakan bahwa terlepas dari adanya dukungan dari sejumlah negara, nyatanya kesepakatan tersebut gagal menjadi platform inklusif bagi berbagai angkatan bersenjata di Sudan.

Menurut dia, format (perjanjian) itu mengabaikan sebagian penguasa politik di Sudan. "Pendekatan semacam ini hampir tidak dapat membantu penyelesaian masalah secara komprehensif," kata Yevstigneyeva menambahkan.

Situasi di Sudan memanas menyusul perbedaan pendapat antara Panglima Militer Sudan Abdel Fattah al-Burhan dan pemimpin paramiliter Pasukan Pendukung Cepat (RSF) Mohammed Hamdan Dagalo. Keduanya merupakan pasangan kepala dan wakil kepala Pemerintahan Transisi Sudan.

Akar permasalahan antara kedua pihak tidak lain berkaitan dengan garis waktu dan metode dalam pembentukan angkatan bersenjata tunggal di Sudan, juga terkait siapa yang akan menjadi panglimanya -- antara seorang pejabat militer seperti yang diusulkan al-Burhan, atau seorang presiden sipil seperti yang ditekankan oleh Dagalo.

Pada 15 April, bentrokan antara kedua belah pihak pecah di dekat sebuah pangkalan militer di Merowe dan ibu kota Khartoum, dan berlanjut pada Selasa (25/4/2023) terlepas dari sedang berlangsungnya masa gencatan senjata.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Sudan, sebanyak 600 jiwa telah melayang selama konflik berlangsung. Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan sebanyak 450 orang tewas, dan lebih dari 4.000 orang lainnya terluka akibat konflik tersebut.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement