KAKI BUKIT – Pertengahan Ramadan 1444 H berkesempatan mendatangi sebuah sekolah dasar tepatnya Sekolah Dasar (SD) Negeri 14 yang beralamat di Jalan Tanjung Barangan. Sekolah ini berjarak sekitar 11 kilometer dari pusat kota Palembang. Ada yang menyebutnya di pinggir kota Palembang.
Saat memasuki gerbang sekolah yang bertiang beton, mata tertuju ke serambi kelas. Di situ ada sebuah gerobak yang bertuliskan “Gerobak Pintar SDN 14 Palembang Untuk Indonesia Cerdas.” Terlihat seorang siswa berseragam putih merah, seragam siswa SD tengah membaca sebuah buku sambil berdiri. Saat disapa, ternyata dia tengah membaca buku puisi berjudul “Aku Ini Bintang Jalang,” buku kumpulan puisi karya penyair Chairil Anwar.
Singkat cerita, “gerobak pintar” dan buku-buku yang ada di gerobak tersebut menurut seorang guru adalah sumbangan dari sebuah penerbit buku. Ada puluhan buku fiksi untuk anak-anak dari buku cerita dan komik tergeletak di raknya.
Diantara kumpulan buku tersebut ada terselip buku kumpulan puisi Chairil Anwar yang berjudul “Aku Ini Binatang Jalang.” Setelah membolak-balik tumpukan buku, ditemukan ada lima eksemplar buku kumpulan puisi penyair yang berpulang menghadap Ilahi pada 28 April 1949.
Keberadaan buku tersebut adakah hubungannya dengan pembelajaran mata pelajaran sastra di sekolah dasar atau sekolah menengah pertama (SMP), masihkah sastra diajarkan, masih adakah siswa yang hafal puisi-puisi karya Chairil Anwar khususnya puisi berjudul “Aku” yang melegenda?
Bagaimana penerapan pembelajaran sastra di sekolah saat ini khususnya dalam penerapan kurikulum 2013? Dari penelitiaan Dadan Djuanda berjudul “Pembelajaran Sastra di SD Dalam Gamitan Kurikulum 2013” (2014) menyebutkan, “Dilihat dari materi yang ada pada Kompetensi Dasar dalam Permendikbud No 57 Tahun 2014, maupun Buku Siswa yang dikeluarkan Mendikbud, ternyata pembelajaran sastra (materi sastra) sangat kurang.”
Menurut Dadan Djuanda, dibandingkan dengan pembelajaran sastra pada Kurikulum 2006, pembelajaran sastra memang disediakan khusus. Hal ini mengingat kandungan dan manfaat sastra anak untuk perkembangan dan kepribadian anak.
Dalam Kurikulum 2006 disaratkan, bahwa sebagai upaya meningkatkan apresiasi sastra dan gemar membaca, setiap siswa pada jenjang sekolah dasar diwajibkan membaca sembilan buku sastra (puisi anak, buku cerita anak, drama anak, dan dongeng/ cerita rakyat).
Pada Kurikulum 2013 pelajaran membaca lebih banyak teks nonsastra yang berisi muatan IPA dan IPS, yang dititipkan pada pelajaran bahasa Indonesia. Kompetensi Dasar (KD) kelas I sampai kelas III, Pelajaran Bahasa Indonesia, menghela IPS dan IPA, tetapi di kelas IV, V, dan VI pun titipan itu masih melekat, walaupun mata pelajaran IPA dan IPS di kelas tinggi juga punya Kompetensi Dasar sendiri. Sehingga, sastra semakin sulit diajarkan karena dari mulai kelas satu sampai kelas enam, KD bahasa tetap dititipi IPA maupun IPS.
Apresiasi Sastra
Jika merujuk pada Kurikulum 2006 di sekolah dasar, pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya dan lingkungan hidup.
Pengembangan kemampuan bersastra di sekolah dasar dilakukan dalam berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Menurut Charlotte Huck, dkk dalam “Children Literature in the Elementary School,” (1987), bahwa pembelajaran sastra di SD harus memberi pengalaman pada siswa yang akan berkontribusi pada empat tujuan, yakni (1) pencarian kesenangan pada buku, (2) menginterpretasi bacaan sastra, (3) mengembangkan kesadaran bersastra, dan (4) mengembangkan apresiasi.
Jadi dalam pembelajaran sastra, selayaknya para siswa diakrabkan pada berbagai genre sastra anak-anak. Untuk meningkatkan apresiasi sastra dan gemar membaca, setiap siswa pada jenjang sekolah dasar diwajibkan membaca buku sastra (puisi anak, buku cerita anak, drama anak, dan dongeng/ cerita rakyat).
Pada waktu pembelajaran sastra, menurut Dadan Djuanda, siswa diberi kesempatan memahami, menikmati, dan sekaligus merespons apa yang telah mereka baca dengan cara-cara yang menarik minat mereka. Siswa harus mengadakan “transaksi” antara aktivitas jiwa siswa dengan karya sastra secara estetik.
Ada fakta lain ditemukan melengkapi penelitian Dadan Djuanda. Menurut Elfia Sukma Dosen PGSD FIP UNP dalam makalahnya berjudul “Pembelajaran Sastra yang Integratif Berbasis Kompetensi,” pelaksanaan pembelajaran sastra selama ini masih terasa sulit bagi guru, baik di sekolah dasar maupun di sekolah lanjutan. Pada umumnya guru membelajarkan siswa dengan menugaskan siswa membaca buku paket dan mengerjakan latihan-latihan yang terdapat di dalamnya. Akibatnya, pembelajaran sastra kurang dapat dimanfaatkan siswa untuk menambah wawasan dan mengembangkan kepribadiannya.
Sebelum era reformasi, sudah lebih dari dua dasawarsa para pakar telah berbicara tentang ketidakberhasilan pengajaran sastra di sekolah. Kurikulum telah berulang kali diganti atau direvisi dari Kurikulum 1968, 1975, 1984, 1994, juga sudah berulang kali seminar sastra dan upaya perbaikan terhadap berbagai komponen pengajaran sastra pun telah berkali-kali dilaksanakan.
Penyair Taufiq Ismail pernah menuliskan pengalamannya dalam tulisan bersambung yang dimuat di Harian Republika, 24 Oktober - 8 November 1997. Ia menulis, setelah melakukan pengamatan terhadap pengajaran sastra di 13 negara (Eropa, Amerika, Asia, termasuk Indonesia), membuat simpulan yang ironis.
Selama masa pendidikan di SMU siswa di Jerman sekurang-kurangnya telah membaca buku sastra 15 judul, di New York 32 judul, di Rusia 12 judul, di Singapura dan Malaysia masing-masing 6 judul. Sementara di Indonesia 0 (nol) judul. Ini membuktikan bahwa pengajaran sastra di Indonesia belum beranjak dari tingkat menyedihkan sehingga siswa pun tidak menunjukkan minat yang serius untuk membaca dan mengapresiasi sastra.
Mengapa pelajaran sastra asing atau terasing di sekolah pada jenjang SD, SMP atau SMU? Menurut Tirto Suwondo dalam makalah “Ihwal Pengajaran Sastra di Sekolah Dasar,” (1998), ada beberapa sebab mengapa sastra tetap asing bagi siswa SMU.
Salah satu di antaranya, barangkali, mereka terlanjur tidak memiliki kebiasaan membaca sastra sejak awal. Kebiasaan demikian tercipta karena kemungkinan besar ketika di tingkat pendidikan dasar (SD dan SLTP) mereka juga tidak terbiasa atau tidak dibiasakan untuk membaca dan mengapresiasi sastra. Kondisi tersebut dapat terjadi karena memang pengajaran sastra di SD belum menjanjikan.
Padahal tujuan pembelajaran sastra adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra serta mengambil hikmah atas nilai-nilai luhur yang terselubung di dalamnya. Pengetahuan tentang sastra hanyalah sebagai penunjang dalam mengapresiasi karya sastra.
Rabun Membaca, Pincang Mengarang
Menurut Taufiq Ismail pada pidato penganugerahan gelar kehormatan Doctor Honoris Causa di Bidang Pendidikan Sastra pada Universitas Negeri Yogyakarta, 2003 yang berjudul “Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang Mengarang,” ‘’Walaupun telah beberapa kali berganti kurikulum baru, pembelajaran sastra di sekolah sampai sekarang masih belum dapat dilaksanakan secara maksimal sehingga lulusan yang dihasilkan belum sepenuhnya mencerminkan tujuan pembelajaran tersebut. Hal ini dapat terjadi karena sudah lama pembelajaran sastra di sekolah tergusur oleh pembelajaran tata bahasa, dengan perbandingan 10 – 20 persen berbanding 80 – 90 persen.”
Pembelajaran sastra yang dilakukan di sekolah-sekolah kita saat ini menurut Elfia Sukma, sebagian besar baru pada pengembangan pengetahuan tentang sastra, belum sampai pada pentransferan nilai-nilai yang ada dalam karya sastra. Karya sastra belum dibaca dan dibahas secara tuntas, belum menjadi bahan diskusi dan pembahasan bagi siswa dan guru sehingga belum terjadi pentransferan nilai-nilai yang ada dalam karya sastra tersebut.
Mengapa buku “Aku Ini Binatang Jalang” karya Chairil Anwar ada di “Gerobak Pintar” SD Negeri 14? Buku sastra apa pun judulnya, khususnya sastra anak memang harus tersedia di sekolah, di perpustakaan sekolah agar karya sastra tersebut dibaca dan dibahas menjadi bahan diskusi siswa dan para guru.
Ke depan saatnya mengisi dan menambah koleksi buku atau bahan bacaan perpustakaan sekolah dengan koleksi karya-karya sastra yang berkualitas dan memadai secara kuantitas.
Melalui penerapan program Belajar Merdeka diharapkan pembelajaran sastra tidak lagi menjadi anak tiri yang tidak diakui di sekolah. Menurut M Haryanto dalam “Menelaah Pembelajaran Sastra yang (Kembali) Belajar Merdeka di Era Merdeka Belajar,” (2020), “Sastra dengan banyak manfaatnya harus kembali di-merdekaan. Dijauhkan dari bayang-bayang alat tes dan angka-angka kelulusan numerik.”
Saat memerdekakan diri dalam pembelajaran sastra di sekolah yang hanya dengan aktivitas menghafal, mengerjakan soal, mencatat, dan mendengarkan ceramah. “Sastra akan sangat efektif membentuk kepribadian dan akhlak jika melalui apresiasi. Apresiasi tentunya akan meninggalkan hal-hal yang sifatnya menghafal namun juga aktifitas jiwa,” tulis M Haryanto.
Pembelajaran sastra harus merdeka karena sastra bukan anak tiri yang dianggap tidak begitu penting. “Hal ini menyebabkan mata pelajaran bahasa Indonesia yang seharusnya memiliki ”daya linuwih” dalam membentuk kepribadian, kini tak ubahnya hanya sekadar formalitas kurikulum. Sastra tidak boleh menjadi pembelajaran yang kering, monoton, dan tidak diminati.
Pesan M Haryanto, pada era merdeka belajar, tuntutan agar sastra bisa dikembangkan dengan pengajaran yang merdeka, membuat segala elemen pendidikan harus ”belajar merdeka” terlebih dahulu. Agar bisa benar-benar ”Merdeka Belajar”,utamanya para guru, sistem, dan kurikulum harus terlebih dahulu ”Belajar Merdeka”. Merdeka dari kemonotonan, merdeka dari hal membosankan, merdeka dari sekadar menjawab soal LKS, dan hal-hal lainya. Jazirah edukasi kita membutuhkan pembelajaran sastra yang kreatif dan inovatif. (maspril aries)